Oleh: Mugni Muhit
Ngaji diri dimaknai sebagai pemahaman yang baik dan
benar atas potensi dan kafabilitas diri secara utuh, baik jasmani maupun
rohani. Integritas jasmani dan rohani dalam pengkhidmatan kepada Sang Pencipta
menjadi syarat mutlak. Dan ini yang menjadi ghayah atau tujuan hakiki tarbiyah
islamiyah.
Ngaji rasa diartikan dengan bagaimana kita
mengendalikan emosi jiwa. penyaluran emosi jiwa yang penuh rasa ini harus
diarahkan kepada tepo seliro, mawas diri, dan lapang dada atau legowo.
Tidak ada ikhtiar strategis untuk merealisasikan
tujuan pendidikan Islam tersebut, selain fokus pada core-core ideal dan
penting, yakni tarbiyah qona’ah, zuhud, tawakal, dan ikhlas serta hifdh
al-lisan.
Fokus pendidikan athqiya berorientasi pada
pembentukan akhlak yang bersifat holistik dan sentralistik, yaitu akhlak kepada
Allah Swt. terjewantahkan dalam wujud akhlak seseorang dengan sikap penyesalan
atas kesalahan menjadi sebuah ketaatan, sikap zuhud melalui Pengosongan hati
dari makhluk, tawakal dengan pasrah terhadap ketentuan dan rekayasa Allah SWT,
sikap ikhlas melaui manivestasi amal yang karena Allah SWT.
Kedua, interelasi dan interdependensi sesama manusia, mencakup sikap menjaga lisan dari kata dan narasi buruk dan negatif yang dapat menyakiti orang lain.
1. Filosofi Pendidikan Zuhud
بِالْمَالِ لَافَـقْدٌ لَهُ تَكُ
أَعْـقَلَا
وَازْهَدْ وَذَا فَقْدُعَلَاقـَةِ
قَلْـبِكَا
"zuhud bukanlah miskin tak punya harta, tetapi
zuhud itu adalah manakala hati tak tertambat padanya.
Dalam penghampiran linguistik, zuhud adalahِ خلاف الرغبة berarti “tidak
tertarik terhadap sesuatu’’. Zahada fi
al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dan kemewahan
dunia yang mubadzir untuk beribadah. Pelaku zuhud
disebut zahid,. Zahidah jamaknya zuhdan yang berarti kecil atau sedikit.
Dari terminologi lughawi tersebut, maka hakikat zuhud
adalah:
وَحَقِيْقَتُهُ اِنْصِرَافُ
الرُّغْبَةِ عَنِ الشَّيئ إلى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ
"mengalihkan ketertarikan terhadap sesuatu yang
jauh lebih baik.
Lebih gamblang lagi, zuhud substansinya
dilukisjelaskan oleh Allah dalam kitab suci, surat al-Hadid (57):23 :
لِكَيْال تَأْسَوْا عَلَى مَا
فَاتَكُمْ وَلا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللََّهُ لا يُحِبَُّ كُلََّ
مُخْتَالٍ فَخُور
"Kami jelaskan yang demikian itu, agar kamu
jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang telah diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai
orang yang sombong lagi membangkang diri.”
Oleh sebab itulah analisa terhadap lafadz zuhud dalam
perspektif terminologis, tidak dapat terlepas dari dua substansial. Pertama,
zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai
moralitas (akhlak) Islam dan kinerja argumentatif. Jika tasawuf diartikan
adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai
perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan
suatu maqam dan koridor khusus menuju tercapainya ma'rifat kepada Sang
Pencipta.
Dengan kata lain, zuhud yaitu menghindari tercapainya
kenikmatan duniawi semata, karena dorongan keagamaan untuk membersihkan jiwa
dari keburukan duniawi. Makanya seorang zahid sering melaksanakan puasa dan
melaksanakan shalat dan dzikir pada durasi waktu yang lama di tengah malam.
Namun demikian, hal tersebut bukanlah merupakan aspek yang terpenting dalam
tasawuf, sebab yang urgen dalam tasawuf adalah keprihatinan sikap batin
(kecendekiawanan). Sikap inilah yang mampu mendorong seseorang melakukan
kepekaan dan solidaritas sosialnya.
2. Filosofi Pendidikan Tawakal
ثِـقَةً بِوَعْدِالرَّبِّ أَكْرَمَ
مُفَضِّلَا
وَتَوَكَّلَنْ مُتَجَـرَّدًا فِى
رزْقِكاَ
"Bangunlah keyakinan hanya pada kebesaran Allah
yang senantiasa menempati janjiNya, bahwa Dialah yang menjamin hidup dan
kehidupan"
Karakter orang yang senantiasa bertawakal kepada
Allah SWT, ia tidak pernah berkeluh kesah dan gelisah. Ia akan memposisikan
dirinya secara total dalam ketenangan, ketentraman, dan
kegembiraan. Jika ia memperoleh nikmat dan karunia
dari Allah, ia akan bersyukur, dan jika mendapatkan musibah, ia akan bersadar.
Ia menyerahkan seluruh eksistensi dirinya sendiri kepada Allah SWT. Penyerahan
diri itu dilakukan dengan penuh keseriusan dan semata-mata karena Allah SWT.
Keyakinan utama yang mendasari tawakal adalah
keyakinan sepenuhnya akan kekuasaan dan kemahabesaran Allah Swt. Itulah
sebabnya tawakal adalah wujud nayata dari tauhidullah. Dalam hati orang yang
bertawakal akan tertanam iman yang kokoh bahwa segala sesuatu terjadi atas
kehendak Allah SWT dan berlaku atas ketentuan-Nya. Tidak seoarang pun dapat
dapat berbuat dan menghasilkan sesuatu tanpa izin-Nya, baik berupa hal-hal yang
memberikan manfaat atau mudarat dan menggembirakan atau menakutkan. Sekalipun
seluruh makhluk berusaha untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat kepadanya,
mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan izin Allah Swt.
Tawakal berasal dari akar kata وكالة (mewakilkan), menurut istilah
ialah:
فَالتَّوَكَّلُ عِباَرَةٌ عَنْ
اعْتِمَادِ الْقَلْبِ عَلَى الْوَكِيْل الحَقِّ وَحْدَه
"Menyerahkan diri sepenuhnya (kepada kehendak
Allah), dengan segenap hati percaya kepada yang hak yaitu Allah SWT.
Ada empat kategori tawakal kepada Allah, yaitu :
a. Tawakal kepada Allah dalam keadaan diri yang
Istiqomah serta dituntun
dengan petunjuk Allah, serta bertauhid kepada-Nya
secara murni, dan konsisten terhadap agama Allah baik secara lahir maupun batin,
tanpa ada usaha untuk memberi pengaruh kepada orang lain. Dengan arti lain
tawakal artinya sikap yang berorientasi kepada memperbaiki dirinya sendiri
tanpa melibatkan orang lain.
b. Tawakal kepada Allah dalam keadaan diri yang
istiqomah seperti
disebutkan di atas, dan ditambah dengan tawakal
kepada Allah SWT untuk melakukan amar ma'ruf nahy al-munkar, serta
memperhatikan kemaslahatan orang banyak, serta memberi pengaruh pada orang lain
untuk melakukan ibadah hanya kepada
Allah. Dan ini adalah sikap tawakalnya para nabi.
c. Tawakal kepada Allah untuk memperoleh kebutuhan
duniawi-nya. Sikap tawakal ini dapat memicu kecukupan bagi dirinya dalam urusan
dunia serta tidak disertai kecukupan urusan akhirat, kecuali jika ia meniatkan
untuk meminta kecukupan akhirat dengan kecukupan dunia itu.
d. Tawakal kepada Allah dalam berbuat haram dan
menghindari diri dari perintah Allah.
3. Filisofi Pendidikan Ikhlas
اِلَّا التَّقَرُّبَ مِنْ اِلهِكَ ذِى
الْكَلَا
اَخْلِصْ وَذَا أَنْ لَاتُرِيْدُ
بِطَاعَةٍ
"Janganlah berharap kepada selain Alkah, sebab
Dialah Allah yang menjamin kelangsungan hidup".
الْاِخْلَاصُ وَهُوَ الرُّكْنُ
الْاَعْظَمُ مِنْ اَعْمَالِ الْقَلْبِ الَّذِى عَلَيْهِ مَدَارُ الْعِبَادَاتِ
كُلِّهَا
Berdasarkan redaksi di atas, maka terdapat icon penting
dalam ikhlas:
Pertama, Niat. Kata Allah: “Dan janganlah kamu
mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di saat pagi dan petang hari,
sedangkan mereka menghendaki keridhaan-Nya (QS 6: 52).
Kedaua, Mengikhlaskan niat
Nabi saw. Bersabda kepada Muadz, “Ikhlaskanlah amal,
maka sedikit
darinya mencukupimu”. Ketiga, dapat dipercaya.Ia
merupakan kesempurnaan ikhlas. Allah swt menegaskan: Orang-orang yang menepati
apa yang telah mereka janjikan kepada Allah (QS 33: 23)
Ikhlas memiliki tanda-tanda yang kasat mata pada
kehidupan dan perilaku orang yang ikhlas. Seseorang yang benar-benar ikhlas
akan senantiasa:
1. Mengharapkan wajah Allah
Tanda terbesar orang-orang yang ikhlas ialah amal
yang mereka kerjakan semata-mata mengharap kebaikan Allah semata. Tidak ada
sedikitpun bertujuan mencari kemegahan harta dan dunia.
2. Gemar beramal secara sembunyi-sembunyi
Orang-orang yang ikhlas lebih serius di dalam
merahasiakan amal shalihnya dibandingkan dengan merahasiakan dosa.
3. Batin lebih baik daripada lahir
Seorang ikhlas bukanlah menampakkan keshalihan
dihadapan orang lain, lalu berbuat buruk saat ia hanya berdua dengan Allah.
4. Filosofi Pendidikan Lisan
أَعْضَاءِجَمِيْعًا فَاجْهَدَنْ
لَاتَكْـسَلَا
وَبِحِفْظِ عَيْنٍ وَاللِّسَانِ
وَسَائِرِالْـ
"Pelihara dan lindungi setiap anggota badan
dengan penuh semangat melalui lisan yang haq"
Sebagai makhluk Allah, manusia sejatinya menyadari bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan hidup merupakan sebuah tantangan, dan kebahagiaan ini bisa diraih apabila
seseorang mampu berkomunikasi dan bersosialisasi
dengan lingkungannya secara baik dan benar. Salah satu faktor pundamental untuk
membangun komunikasi yang baik dalam lingkungan pergaulan adalah menjauhi
segala bentuk dari beragam bahaya narasi lidah.
Lidah sesyngguhnya merupakan salah satu anugrah Allah
yang diberikan kepada manusia sebagai alat bantu menerjemah dan menyampaikan
pengetahuan dan keimanan. Keimanan dan kekufuran
seseorang tiadak akan tegas dan jelas, kecuali dengan kelincahan lidah
tersebut. Lidahlah yang menjembatani proses interaksi manusia dengan manusia.
Oleh karena itulah Nabi Agung mengingatkan bahwa keselamatan seseorang sangat
ditentukan oleh sejauh mana ia dapat menjaga lisannya, dari refleksi yang buruk
dan energi negatif.
Dipenghujung penjelasannya, Almarhum Kiyai Muharror,
menegaskan bahwa sama halnya dalam mendidik anak, ia haruslah mendapatkan
pencerahan yang masuk dikapasitas logika dan empatinya mengenai bagaiamana
belajar zuhud, tawakal, ikhlas, dan menjaga lisan, agar selamat dunia kini dan
akhirat kelak. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar