04 Juni 2019

Idul Fitri dan Keshalehan Sosial


Oleh: Aji Muhammad Iqbal
Momentum Iedul Fitri atau yang sering disebut lebaran adalah moment yang sangat ditunggu-tunggu khususnya oleh umat Islam Indonesia setelah satu bulan lamanya, umat Islam melaksanakan ibadah Puasa di bulan suci Ramadhan. Iedul fitri merupakan perwujudan klimaks dari pelaksanaan ibadah puasa (Ramadhan). Selain ibadah puasa, umat islam diwajibkan juga untuk mengeluarkan zakat fitrah, memberikan sebagian hartanya untuk orang yang berhak menerima zakat (Muzakki) dengan ketentuan yang berlaku. Dalam zakat tersebut, ada sisi nilai universal antara zakat dan iedul fitri. Ditengah menikmati kebahagiaan di hari kemenangan, kebahagian yang tidak terhingga itu tidak serta merta dirasakan oleh orang kaya, kaum borjuis, golongan konglomerat dan para penguasa, melainkan kebahagiaan hari kemenangan (iedul fitri) juga dinikmati oleh kalangan kelas bawah, fakir miskin dan kaum mustadl’afhin. “Zakat merupakan prinsip revolusi sosial yang mendasari pelepasan kekayaan yang melebihi kebutuhan dasarnya kepada orang yang membutuhkannya,” begitulah ungkap Fajar Rizaul Haq, dalam bukunya Membela Islam Membela Kemanusiaan halaman 268.

Lalu, bagaimana jika kita bersedekah kepada non muslim yang miskin di hari raya iedul fitri? Abdul Mochsit Ghazali, peneliti The Wahid Institute dalam tulisannya yang berjudul Keistimewaan Iedul Fitri, beliau mengutip pendapat Al-Qurthubi dalam al-Jami’il Ahkam al-Qur’an (Jilid 2, halaman 290) yang memperbolehkan umat Islam bersedekah kepada umat non Muslim. Pendapat yang sama juga disampaikan Rasyid Ridha, bahwa kasih sayang dan bantuan kita kepada orang miskin, tidak perlu kita menunggu sampai yang bersangkutan masuk Islam. Itulah sebabnya mengapa hubungan umat Islam dan agama lain sangat dekat, damai dan tentram ditengah bangsa Indonesia yang sangat heterogen, karena urusan sedekah saja sudah melintas batas iman. “Tidak penting apapun agamamu atau sukumu kalau kamu mau melakukan kebaikan kepada semua orang. Orang tidak akan pernah bertanya, apa agamamu?” ungkap Gusdur, Sang Guru Bangsa.

Dalam menyambut hari raya iedul fitri, kita perlu mencontoh kepada kesederhanaan dan kepedulian sosialnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya. Dalam kisah yang ditulis oleh Fauz Noor, dalam bukunya berjudul Marginalia, sebuah esai-esai karya Kang Fauz yang terbit di Koran Radar Tasikmalaya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya, di malam iedul fitri membagikan tiga karung gandum dan dua karung kurma kepada kaum fakir miskin. Suatu ketika di hari raya iedul fitri, sahabat Rosulullah SAW yang bernama Ibnu Rafi’i bermaksud ingin mengucapkan selamat iedul fitri kepada putri baginda Rasul, Sayyidah Fatimah. Setelah sampai pada pintu rumah, beliau kaget tak terhingga melihat keluarga Rasulullah SAW, yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidah Fatimah beserta putranya Hasan dan Husein yang usianya masih balita, semuanya sedang asyik menikmati makanan gandum tanpa mentega yang sudah basi dan tidak enak baunya, tercium oleh Ibnu Rafi’i. Seketika, Ibnu Rafi’i mengucapkan istighfar dan digeluti rasa terharu sambil meneteskan air mata.

Dalam kisah tersebut, Kita bisa mencermati bahwa iedul fitri bukanlah moment untuk memewah-mewahkan diri, memaksakan membeli baju lebaran apalagi meminjam uang kepada tetangga demi terlehat mewah, memenuhi tempat perbelanjaan, Mall dan sejenisnya di hari-hari terakhir bulan Ramadhan, yang sedang merantau diperkotaan datang ke kampung halamannya dengan dada membusung, membawa mobil mengkilat layaknya orang amerika menjadi alat kesombongan, itu semua bukanlah esensi dari hari raya iedul fitri.

Berbicara konteks masyarakat Indonesia, moment iedul fitri tidak serta merta di klaim oleh umat Islam saja, nyatanya iedul fitri pun dirasakan kegembiraannya oleh umat lain. Selain itu dirasakan juga oleh umat Islam yang walaupun selama bulan suci Ramadhan tidak pernah berpuasa. Tidak juga dirasakan oleh orang kota saja, orang kampung pun ikut merasakan kebahagiaannya. Semuanya, di iedul fitri bersatu padu, saling memaafkan entah itu dosa sosial maupun dosa pribadinya. Begitu pula para politisi yang memiliki konflik social dengan lawan politiknya, seperti halnya konflik yang tak kunjung usai pada moment pesta demokrasi 17 April 2019 kemarin, hingga muncul aksi besar-besaran pada 22 Mei 2019, yang tidak menerima hasil keputusan KPU RI sampai aksi tersebut menelan korban jiwa. Anehnya, aksi tersebut dilakukan ditengah bulan suci Ramadhan, yang harusnya bisa menahan hawa nafsu, memperbanyak aktifitas ibadah kepada Allah SWT. Wajar saja jika Imam Ghozali membagi puasa kepada tiga tingkatan, yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus. Pemilu tahun 2019, sama halnya dengan pemilu pada tahun 1987. Kesamaanya adalah tak lama setelah terlasananya pemilu, datang bulan suci Ramadhan. Mahbub Djunaidi dalam buku Asal-Usul, dalam sebuah kolom yang berjudul Ramadhan halaman 126, Mahbub tampaknya menjelaskan bagaimana situasi puasanya para kontestan pasca pemilu itu.

“Dilihat dari arah bintang, tidak ada bedanya dengan calon kontestan yang bisa kursi dan yang tidak. Sama-sama menyambut datangnya bulan Ramadhan dengan hati gembira. Begitu mendengar bunyi beduk bertalu-talu, kedua golongan hamba Allah itu sama-sama mengucap syukur jika diberikan umur panjang bertemu lagi dengan puasa. Sama-sama ke pasar beli sirup, dan sama-sama pula ke pasar beli dendeng kering. Sebab di mata Tuhan kedua golongan itu tak ada bedanya, karena yang jadi ukuran takwanya,” tulis Mahbub Djunaidi, Sang Pendekar Pena.

Iedul Fitri moment saling memaafkan, para politisi patut meneladani sosok Presiden ke-4, yaitu KH. Abdurrahman Wahid atau yang sering disebut Gusdur. Saat menghadiri acara talk show di salah satu stasiun televisi, beberapa tahun lalu. Beliau mengatakan, “satu-satunya orang yang pantas menjadi musuh saya di negeri ini adalah Pak Harto. Itu pun saya masih berkunjung ke sana saat lebaran . Artinya, ya saya tidak punya musuh,” ungkap Gusdur dengan tawa khasnya.

Kita perlu menyadari, semuanya bukanlah mahluk yang sempurna, semuanya memiliki kesalahan dan kekurangan, semuanya memiliki kekesalan dan amarah. Maka dari itu mari kita bergandengan tangan dan saling memaafkan. Selamat Hari Raya Iedul Fitri 1440 H.
*)Penulis merupakan Santri Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Komplek Jabal Rohmah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar