Oleh: Aji Muhammad Iqbal
Momentum Iedul Fitri atau yang
sering disebut lebaran adalah moment yang sangat ditunggu-tunggu khususnya oleh
umat Islam Indonesia setelah satu bulan lamanya, umat Islam melaksanakan ibadah
Puasa di bulan suci Ramadhan. Iedul fitri merupakan perwujudan klimaks dari
pelaksanaan ibadah puasa (Ramadhan). Selain ibadah puasa, umat islam diwajibkan
juga untuk mengeluarkan zakat fitrah, memberikan sebagian hartanya untuk orang
yang berhak menerima zakat (Muzakki) dengan ketentuan yang berlaku. Dalam zakat
tersebut, ada sisi nilai universal antara zakat dan iedul fitri. Ditengah
menikmati kebahagiaan di hari kemenangan, kebahagian yang tidak terhingga itu
tidak serta merta dirasakan oleh orang kaya, kaum borjuis, golongan konglomerat
dan para penguasa, melainkan kebahagiaan hari kemenangan (iedul fitri) juga
dinikmati oleh kalangan kelas bawah, fakir miskin dan kaum mustadl’afhin.
“Zakat merupakan prinsip revolusi sosial yang mendasari pelepasan kekayaan yang
melebihi kebutuhan dasarnya kepada orang yang membutuhkannya,” begitulah ungkap
Fajar Rizaul Haq, dalam bukunya Membela Islam Membela Kemanusiaan halaman 268.
Lalu, bagaimana jika kita
bersedekah kepada non muslim yang miskin di hari raya iedul fitri? Abdul
Mochsit Ghazali, peneliti The Wahid Institute dalam tulisannya yang berjudul
Keistimewaan Iedul Fitri, beliau mengutip pendapat Al-Qurthubi dalam al-Jami’il
Ahkam al-Qur’an (Jilid 2, halaman 290) yang memperbolehkan umat Islam
bersedekah kepada umat non Muslim. Pendapat yang sama juga disampaikan Rasyid
Ridha, bahwa kasih sayang dan bantuan kita kepada orang miskin, tidak perlu
kita menunggu sampai yang bersangkutan masuk Islam. Itulah sebabnya mengapa
hubungan umat Islam dan agama lain sangat dekat, damai dan tentram ditengah
bangsa Indonesia yang sangat heterogen, karena urusan sedekah saja sudah
melintas batas iman. “Tidak penting apapun agamamu atau sukumu kalau kamu mau
melakukan kebaikan kepada semua orang. Orang tidak akan pernah bertanya, apa
agamamu?” ungkap Gusdur, Sang Guru Bangsa.
Dalam menyambut hari raya iedul
fitri, kita perlu mencontoh kepada kesederhanaan dan kepedulian sosialnya
Sayyidina Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya. Dalam kisah yang ditulis oleh
Fauz Noor, dalam bukunya berjudul Marginalia, sebuah esai-esai karya Kang Fauz
yang terbit di Koran Radar Tasikmalaya. Sayyidina Ali bin Abi Thalib beserta
keluarganya, di malam iedul fitri membagikan tiga karung gandum dan dua karung
kurma kepada kaum fakir miskin. Suatu ketika di hari raya iedul fitri, sahabat
Rosulullah SAW yang bernama Ibnu Rafi’i bermaksud ingin mengucapkan selamat
iedul fitri kepada putri baginda Rasul, Sayyidah Fatimah. Setelah sampai pada
pintu rumah, beliau kaget tak terhingga melihat keluarga Rasulullah SAW, yaitu
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidah Fatimah beserta putranya Hasan dan
Husein yang usianya masih balita, semuanya sedang asyik menikmati makanan
gandum tanpa mentega yang sudah basi dan tidak enak baunya, tercium oleh Ibnu
Rafi’i. Seketika, Ibnu Rafi’i mengucapkan istighfar dan digeluti rasa terharu sambil
meneteskan air mata.
Dalam kisah tersebut, Kita bisa
mencermati bahwa iedul fitri bukanlah moment untuk memewah-mewahkan diri,
memaksakan membeli baju lebaran apalagi meminjam uang kepada tetangga demi
terlehat mewah, memenuhi tempat perbelanjaan, Mall dan sejenisnya di hari-hari
terakhir bulan Ramadhan, yang sedang merantau diperkotaan datang ke kampung
halamannya dengan dada membusung, membawa mobil mengkilat layaknya orang
amerika menjadi alat kesombongan, itu semua bukanlah esensi dari hari raya iedul
fitri.
Berbicara konteks masyarakat
Indonesia, moment iedul fitri tidak serta merta di klaim oleh umat Islam saja,
nyatanya iedul fitri pun dirasakan kegembiraannya oleh umat lain. Selain itu
dirasakan juga oleh umat Islam yang walaupun selama bulan suci Ramadhan tidak
pernah berpuasa. Tidak juga dirasakan oleh orang kota saja, orang kampung pun
ikut merasakan kebahagiaannya. Semuanya, di iedul fitri bersatu padu, saling
memaafkan entah itu dosa sosial maupun dosa pribadinya. Begitu pula para
politisi yang memiliki konflik social dengan lawan politiknya, seperti halnya
konflik yang tak kunjung usai pada moment pesta demokrasi 17 April 2019
kemarin, hingga muncul aksi besar-besaran pada 22 Mei 2019, yang tidak menerima
hasil keputusan KPU RI sampai aksi tersebut menelan korban jiwa. Anehnya, aksi
tersebut dilakukan ditengah bulan suci Ramadhan, yang harusnya bisa menahan
hawa nafsu, memperbanyak aktifitas ibadah kepada Allah SWT. Wajar saja jika
Imam Ghozali membagi puasa kepada tiga tingkatan, yaitu puasa umum, puasa
khusus, dan puasa paling khusus. Pemilu tahun 2019, sama halnya dengan pemilu
pada tahun 1987. Kesamaanya adalah tak lama setelah terlasananya pemilu, datang
bulan suci Ramadhan. Mahbub Djunaidi dalam buku Asal-Usul, dalam sebuah kolom
yang berjudul Ramadhan halaman 126, Mahbub tampaknya menjelaskan bagaimana
situasi puasanya para kontestan pasca pemilu itu.
“Dilihat dari arah bintang, tidak
ada bedanya dengan calon kontestan yang bisa kursi dan yang tidak. Sama-sama
menyambut datangnya bulan Ramadhan dengan hati gembira. Begitu mendengar bunyi
beduk bertalu-talu, kedua golongan hamba Allah itu sama-sama mengucap syukur
jika diberikan umur panjang bertemu lagi dengan puasa. Sama-sama ke pasar beli
sirup, dan sama-sama pula ke pasar beli dendeng kering. Sebab di mata Tuhan
kedua golongan itu tak ada bedanya, karena yang jadi ukuran takwanya,” tulis
Mahbub Djunaidi, Sang Pendekar Pena.
Iedul Fitri moment saling
memaafkan, para politisi patut meneladani sosok Presiden ke-4, yaitu KH.
Abdurrahman Wahid atau yang sering disebut Gusdur. Saat menghadiri acara talk
show di salah satu stasiun televisi, beberapa tahun lalu. Beliau mengatakan,
“satu-satunya orang yang pantas menjadi musuh saya di negeri ini adalah Pak
Harto. Itu pun saya masih berkunjung ke sana saat lebaran . Artinya, ya saya
tidak punya musuh,” ungkap Gusdur dengan tawa khasnya.
Kita perlu menyadari, semuanya
bukanlah mahluk yang sempurna, semuanya memiliki kesalahan dan kekurangan,
semuanya memiliki kekesalan dan amarah. Maka dari itu mari kita bergandengan
tangan dan saling memaafkan. Selamat Hari Raya Iedul Fitri 1440 H.
*)Penulis merupakan Santri
Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Komplek Jabal Rohmah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar