Oleh: Mugni Muhit
(ALKAMAL-Alumni keluarga Miftahul Huda Al-Azhar)
Di sepanjang sepuluh tahun terakhir ini,
semenjak lembaga pendidikan pondok pesantren eksisten dan kembali konstruktif,
bargaining dengan lembaga pendidikan formal, kesungguhan dewan guru dalam
membimbing para siswa menjadi penyebab utama eksistensi lembaga pendidikan.
penyelenggaraan pendidikan semakin membaik dan menguat. Ini menunjukan bahwa
kekuatan pendidikan terletak pada kinerja dan semangat juang guru.
Dalam sistem pendidikan, guru adalah sosok utama
dan pigur sentral bagi kebaikan dan tumbuhkembangnya para murid. Guru adalah
orang dewasa yang memiliki kemampuan, kelayakan, dan peluang untuk mempengaruhi
proses tumbuhkembangnya anak didik. Guru merupakan jantungnya dalam sistem
pendidikan. Tidak dipungkiri bahwa, ada instrumen lain yang juga penting hadir
dalam pendidikan, namun urgensitasnya tidak setara dengan guru. Tanpa kehadiran
guru, proses pendidikan bukanlah sebuah proses pendidikan. Hanya guru yang
mampu mengawal pertumbuhan dan perkembangan kognitif, afektif dan psikomitorik
anak didik dengan baik.
Dengan kata lain guru merupakan salah satu
instrumen penting dalam pendidikan. Guru dalam pendidikan memiliki peran dan
fungsi vital dan mendesak. Proses pendidikan dan pembelajaran tanpa ruang dan
gedung yang refresentatif. Keberhasilan dan ketercapaian tujuan pendidikan
dalam proses pembelajaran, amat sangat ditentukan guru. Guru adalah lentera
hati, akal dan perbuatan agar terjewantahkan dengan baik dan benar. Baik dalam
arti apa yang diucapkan dan yang teladankan guru selalu harus bernilai. Benar
artinya tindak tanduk dan perilaku serta ilmu pengrtahuan yang disampaikan,
tidak bertentangan dengan budaya, norma, dan nilai positif lainnya. Dan karena
itulah guru senantiasa insfiring terhadap anak didiknya bakan kepada lingkungan
sekitar.
Ada seorang guru penuh inspiratif di sekolah
formal yang telah bertahun-tahun mengabdikan kapasitas dan segenap kemampuannya
dengan optimal. Indikasi optimalnya guru
tersebut ditunjukan dengan kegigihan, ulet, dan teguh pendirian. Ia yakin luar
biasa bahwa anak didiknya akan sukses mencapai tujuan hidupnya. Ia bersikukuh
pada pendiriannya yang dengan gagah berani mengorbankan tenaga, waktu, bahkan
harta yang dimilikinya dengan tanpa mengenal lelah dan putus asa.
Perjuangan hebat yang dilakukan guru tersebut demikian
mulia dan luhur layak dijadikan teladan untuk membangun semangat dan gairah
mendidik. Pahlawan tanpa tanda jasa ini mesti dilindungi agar semangatnya
menular dan tertransformasikan dengan baik kepada guru-guru lainnya. Guru yang
berdaya adalah ia yang selalu menjadi inspirasi kepada yang lain.
Namun fenomena akhir-akhir ini, dalam amatan
penulis sudah terjadi pendangkalan makna guru sebagai pendidik. Guru yang
semestinya harus dihargai, dihormati dan ditiru tingkah lakunya, saat ini sudah
mengalami penurunan. Seperti kurang menghargai dan menghormati posisi guru.
Guru juga kurang didengarkan pembicaraannya, kurang diikuti sikap dan tindak
tanduknya. Mengapa demikian?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, butuh
pemikiran mendalam dan kehati-hatian. Menurut amatan penulis, ada beberapa hal
mengapa terjadi pendangkalan makna,posisi, sikap, peran guru.
Dalam kitab Ta’lim al Mutaallim disebutkan,
bahwa orang tua adalah sebagai murabbi al jasad. Sedangkan guru sebagai murabbi
al ruh. Orang tua yang dimaksud di sini adalah orang tua biologis yang
melahirkan anak yang salah satu fungsinya adalah murabbi al jasad. Murabbil al
jasad dimaknai sebagai orang yang berkewajiban memberi nafkah lahir,
membesarkan, menjaga kesehatannya dan menyelamatkan nyawanya dari gangguan /
kejahatan yang mengancam daari luar.
Sedangkan tugas guru adalah murabbi al ruh.
Maksudnya adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan jiwanya. Yang bertugas mengisi dan mendidik otaknya dengan pengatahuan yang
benar, mengisi hatinya dengan akidah, dan ruhnya dengan akhlakul karimah.
Artinya hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan batin anak didik adalah
tanggung jawab guru.
Namun fenomena yang berkembang saat ini, tugas
guru yang begitu mulia tersebut hanya dijadikan tugas professional yang
bersifat instrumental. Banyak tugas- tugas mulia guru seperti memberikan
pemahaman materi ajar misalnya, hanya ditujukan agar memenuhi Standar
Kompetensi (SK) yang ujung-ujungnya dilakukan agar nilai ujian sampai pada
target Standar Ketuntasan Minimal (SKM) semata.
Contoh yang lain, guru dituntut mengajar sesuai
jam dan jadwal, guru dituntut hadir tepat waktu. Hadir tepat waktu dilakukan
agar memenuhi persentasi wajib hadir ke lembaga. Jika diniati dengan baik maka
menjadi baik. Tapi faktanya yang banyak hanya berorientasi material, yakni agar
tidak mengurangi gaji bulanan dan seterusnya. Di samping itu guru harus tampil
rapi. Tampil rapi hanya dengan motivasi agar tidak kalah saing dengan guru lain
dan agar dianggap guru profesional. Sehingga kesan yang berkembang guru tidak
jauh dengan selebritisnya sekolah. Yang lebih ironis lagi, ada kasus guru
berpacaran dengan anak didiknya bahkan ada yang mencabulinya. Naudzubillah.
Secara garis besar setidak-tidaknya ada dua
faktor penyebab pergeseran menurunnya penghargaan peserta didik terhadap guru.
Pertama, keilmuan guru yang kurang memadai. Kedua, sikap guru yang tidak
mencerminkan seorang pendidik. Ketiga, Lemahnya semangat juang (ruhul jihad).
Sedangkan faktor internalnya di antaranya: pertama, degradasi moral peserta
didik. Kedua, biaya pendidikan yang terlalu mahal. Ketiga, anggapan guru
sebagai pekerja.
Semestinya guru dalam sebuah pendidikan
mengembalikan posisinya tidak hanya sebagai pengajar yang hanya memindahkan
ilmu pengetahuan kepada peserta didik (transfer of knowledge) yang tujuannya
adalah pemahaman materi ajar. Apalagi guru mengajar hanya menargetkan materi
selesai sesuai SK dan KD. Materi ajar selesai diajarkan sesuai silabus dan SKM
semata. Tapi lebih dari itu, guru harus berfungsi sebagai murabbi.
Murabbi dimaknai sebagai pendidik. Pendidik
tidak hanya menyampaikan ilmu, memberikan pemahaman dan setelah paham tugas
guru dianggap selesai. Tapi lebih jauh, murabbi bertugas mendidik kecerdasan
pikiran, watak dan mental. Jadi tugas
guru tidak hanya di dalam kelas melainkan di luar kelas pun ia bertanggung
jawab terhadap nasib anak didiknya khususnya di bidang akhlaknya. Oleh sebab
itu murabbi harus member contoh yang baik (uswah hasanah) di kalangan anak
didiknya. Karena apa yang diperbuat oleh guru baik dari segi ucapan, tindakan
maupun sikap akan diikuti, ditiru, dan dijadikan rujukan olyeh anak didiknya.
Murabbi tidak sekedar mencerdaskan otaknya namun juga mentalnya. Dengan
demikian tentu seorang guru harus mendidik muridnya dengan ilmu dan kasih
sayang dengan penuh kelembutan dan ketulusan.
Seorang murabbi mengajar bukan lagi karena
tuntutan profesi tapi lebih jauh karena panggilan moral untuk mencapai ridla
dari Allah. Oleh sebab itu orientasi murabbi dalam mengajar tidak sekedar
kesuksesan duniawi tapi juga ukhrawi. Karena apa yang dilakukan murabbi pada
muridnya akan dimintakan pertanggung jawaban di sisi Allah di akhirat kelak.
Jika guru memenuhi kelengkapan mengajar seperti
perangkat, RPP, silabus, absensi, nilai dan seterusnya hanya karena kebutuhan
administratif dan tuntutan profesi semata, maka lagi-lagi guru sudah terjebak
pada tindakan instrumental yang bersifat sementara dan materialistis. Tidak ada
bedanya lagi guru dengan buruh. Sehingga tidak heran kalau guru yang demikian
kurang dihargai oleh anak didiknya. Akhirnya, sudah saatnya guru mengajar bukan
lagi berorientasi materi (money oriented) karena kepentingan uang namun
berorientasi moral (moral oriented), demi menyelamatkan akidah, ilmu dan akhlak
anak didik.
Wallahu’allam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar