07 Februari 2021

Perintah Shalat Adalah Metode Pendidikan Intelektual Anak

Nabi Agung Muhammad Saw, menganjurkan agar anak yang telah berusia tujuh tahun, segera diperintahkan untuk mengerjakan shalat. Sebab shalat adalah pondasi sekaligus sumber karakter yang sejatinya menginspirasi  keislaman seorang muslim.

 

Apa sesungguhnya yang benar-benar ingin Nabi ajarkan melalui 'titahnya' itu? Bagaimana kita memahami kalimat perintah shalat? Apakah bermakna mengerjakan shalat, mendirikan shalat, atau keduanya?

 

 Lafadz اقيموا الصلاة dalam terminologi lughawi memiliki banyak arti dan makna intrinsik dan ekstrinsik. Secara tekstual (intrinsik), berarti tegakan dan dirikan shalat, yakni shalat yang seperti Nabi Saw teladankan. Sedangkan makna ekstrinsik (kontekstual) nya adalah jaga dan pelihara nilai-nilai dan ajaran islam. Nilai dan ajaran tersebut sudah terkandung dengan baik dalam ritual shalat, mulai dari pemenuhan syarat dan implementasi rukun shalat, baik yang dilafadzkan maupun yang diharakahkan. Semua kalimat yang talafudz dan gerakan yang reflektif dalam shalat dari awal hingga akhir adalah simbol pedoman hidup praktis manusia.

 

Dalam hadits Nabi tersebut, disebutkan tentang perintah mengerjakan shalat kepada anak yang sudah berusia 7 tahun, dan jika ia telah mencapai 10 tahun enggan melaksanakan shalat, maka  dibolehkan untuk dikenakan sangsi edukasi.

 

Persoalannya adalah apakah perintah solat kepada anak 7 tahun itu berarti mengerjakan atau mendirikan? Ada perbedaan substantif antara mengerjakan dengan mendirikan. Mengerjakan artinya belajar melaksanakan solat agar ia mempunyai pengalaman praktis bagaimana cara solat yang baik dan benar secara ritual. Di sini tuntutannya hanya memerintahkan dalam arti mengingatkan, menyadarkan, menunjukan, dan memberi contoh praktis shalat. Dan jika anak 7 tahun itu ternyata tidak mau mengerjakan shalat, maka biarkan saja. Sebab tujuannya hanya mengingatkan dan membuat ia sadar bahwa sebagai muslim, harus mengerjakan shalat.

 

Yang kedua, bermakna mendirikan. Mendirikan artinya menjaga dan memelihara shalat baik ritual maupun nilainya. Gerakan dan bacaan sampai pendalaman nilai dan makna shalat mesti dijalankan dengan baik di tahap dan makna mendirikan shalat. Makanya alquran tidak menggunakan kalimat lain selain aqiimussolah, sebab lafadz ini memiliki makna yang multimakna, yakni makna instrinsik dan makna ekstrinsik.

 

Namun demikian, ada pergeseran pemahaman dengan kuantitas usia 7 tahun. 7 tahun di zaman Nabi dengan 7 tahun di zaman sekarang ada kecenderungan yang sangat berbeda. Sekarang anak kurang dari 7 tahun, katakanlah usia 5 atau 4 tahun, bahkan ada juga yang baru 2 dan tiga tahun sudah mampu berkomunikasi dan beradaptasi di levelnya. Setidaknya ia dapat menangkap pesan ayahanda dan ibunda saat menyuruh atau mencontohkan sesuatu. Bisa jadi anak di bawah tujuh tahun jika disuruh solat, ia akan melakukannya sesuai kemapuannya dengan mencontoh orang tuanya bagaimana ia solat.

 

Oleh karena itu, mengapa nabi perintahkan solat kepada anak yang berusia 7 tahun?

 

Jawabannya adalah sebab pada usia inilah anak sudah mampu menerima perintah atau sudah paham menerima perintah yang disebut dengan istilah mumayyiz. Karena di usia ini kritis dan cerdas. Daya tangkapnya sangat kuat dan cepat.

 

Demikian juga pada usia ini, anak didik diperkirakan sudah mampu belajar sholat dengan baik, sudah mulai mengenal bacaan dan gerakan gerakan sholat dengan baik. Kalau pada usia sebelumnya anak hanya ikut-ikutan, pada usia ini sudah mulai mampu belajar sholat dengan baik.  

 

"Usia secara kebetulan sama dengan usia anak sekolah dipedomani dalam penerimaan masuk sekolah formal di sekolah tingkat dasar titik konsekuensinya anak yang telah mampu belajar sholat dengan baik berarti pula ia telah menerima hukuman jika meninggalkannya.

 

Tugas belajar mengajar adalah tugas suci dan tugas kewajiban bagi semua orang. Orang yang belum tahu ilmu, tugasnya wajib mencari atau belajar dari orang berilmu dan tugas orang berilmu adalah mengajarkan ilmunya kepada orang yang belum mengetahuinya.

 

Dengan kata lain, orang yang belum tahu wajib belajar dan orang yang sudah tahu wajib mengajar. Guru dan murid harus ada kerjasama yang baik dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dengan metode pendekatan dan model yang relavan. 

عن عمرو بن شعيب، عن أبيه، عن جده -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: مُرُوا أولادَكم بالصلاةِ وهم أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، واضْرِبُوهُمْ عليها، وهم أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ

Dari Amr Bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: "Rasulullah SAW bersabda: "Perintahkan anak-anakmu melaksanakan sholat sedang mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka karena tinggal sholat sedang mereka berusia 10 tahun dan pisahkan antara mereka di tempat tidurnya."

Hadits ini, kata Abdul, menjelaskan bagaimana mendidik agama pada anak-anak, pendidikan agama diberikan kepada anak sejak kecil, sehingga nanti usia dewasa perintah-perintah agama dapat dilakukan secara mudah dan ringan.

 

Di antara perintah agama yang disebutkan dalam hadis ada tiga perintah yaitu perintah melaksanakan sholat, perintah memberikan hukuman pemerintah memberikan hukuman bagi pelanggarnya dan perintah mendidik akhlak dan kepribadian.

 

Perintah di sini maknanya dilakukan secara tegas, sebab pada umumnya perintah sholat sebenarnya sudah dilakukan orang tua sejak sebelum usia tersebut.

 

Anak-anak sejak usia empat tahun atau lima tahun sudah diajak orang tuanya melaksanakan sholatbersama-sama.

Anak-anak melakukannya walaupun dengan cara ikut-ikutan atau menirukan gerakan-gerakan sholat.

Anak pada usia ini, sekadar meniru atau imitasi, belum melakukannya secara baik, baik gerakan-gerakannya maupun bacaannya. Anak-anak kadang mau melakukannya dan kadang-kadang tidak mau melakukannya.  Baru setelah usia anak mencapai tujuh tahun perintah orang tua hendaknya secara tegas tidak seperti pada saat usia dibawah tujuh tahun.

 

Sesungguhnya ada target serius yang ingin Nabi internalisasikan ke dalam jiwa, hati dan akal anak sebagai manusia. Shalat adalah ibadah yang langsung kepada sang pencipta. Shalat dikerjakan mesti dalam keadaan siap, suci dan bersih baik badan, pakaian, maupun tempat kita shalat. Kesehatan dan kebersihan badan pun harus bersaman dengan bersihnya rohani. Kebersihan jasmani dan rohani dalam sahalat adalah niscaya, dan menjadi penyebab shalatnya maqbul atau mardud.

 

Jika shalat yang dikerjakan dengan memperhatikan kebersihan jasmani dan rohani, maka dipastikan akan mempertajam akal dan kecerdasannya. Akal yang cerdas adalah akal yang suci dan bersih. Semakin bersih akal, pikiran dan rohani seseorang, maka semakin besar potensi tumbuhkembangnya kecerdasan. Shalat dengan sendirinya mampu meningkatkan kecerdasan intelektualitas dan spiritualitas anak. Bahkan kepekaan dan solidaritas sosial pun terdidik dan terlatih dengan baik dan tepat.

 

Itulah sebabnya Nabi mengajarkan dan memerintahkan kepada kita untuk menyuruh anak solat sejak dini, dan bahkan jika membangkang, berilah sangsi sebagai pelajaran pentingnya shalat. Hal ini Nabi pesankan agar terjadi tumbuhkembang generasi yang cerdas. Anak cerdas adalah anak yang beriman. Dan anak yang beriman adalah juga anak yang cerdas. Keimanan dan kecerdasan menjadi satu kesatuan yang utuh dalam perspektif pendidikan islami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar