Oleh : Siti Aisyah
Bu Nyai adalah perempuan, isteri kyai yang sama sama menjadi panutan
para santri. Bu Nyai ponpes Al-Azhar Citangkolo mayoritas adalah para penghafal
Qur’an. Dari rahimnya lah para generasi, putera puteri pak yai terlahir. Begitupun
para santri putra putri yang tidak terlepas darinya dalam kehidupan
sehari-hari.
Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan islam tertua yang
masih dirasakan manfaatnya hingga detik ini. Dari pondok pesantrenlah
masyarakat mengenal ilmu agama dan bersosial dengan baik. Jika menengok kedalam sejarah Indonesia,
banyak sekali perempuan yang terlibat dalam kemerdekaan Indonesia. seperti R.A Kartini, Cut Nyak Dien, Nyai Ahmad
Dahlan, Nyi Ageng Serang, Laksamana Malahayati,
mereka adalah para santriwati. Bahkan, dalam dikatakan bahwa RA Kartini
adalah murid dari Sunan Darat dan Penghafal Qur’an 17 Juz. Beliau dan gurunya,
Sunan Darat adalah penerjemah tafsir pertama kali dalam bahasa Jawa.
Pondok pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Kota Banjar Jawa
Barat merupakan pondok tertua di kota
Banjar Jawa Barat. Tak hanya itu, pondok tersebut juga sangat kental sekali
dengan faham Aswaja An-Nahdliyah. Para pengasuh pondok pesantren menerapkan sistem NU Cultural seperti
pengajian Reboan, Slasaan, Pahingan yang biasa dilakukan oleh para Bu Nyai dan
ibu-ibu sekitar pondok. Wajar saja, karena pondok pesantren ini bertempat di
tengah pemukiman masyarakat desa.
Pondok yang ikut serta dan terlibat langsung dalam mengusir penjajah
dari bumi Jawa Barat ini, konon pernah disinggahi oleh pangeran Diponegoro.
Menurut Iip D Yahya, penulis buku
sekaligus pemimpin redaksi nujabar, ciri khas
daerah yang pernah disinggahi pangeran Diponegoro yaitu dengan adanya
pohon sawo. Dengan adanya pohon sawo merupakan simbol bahwa daerah tersebut pernah
disinggahi oleh pangeran Diponegoro.
Pondok yang sangat akrab dengan masyaarakat desa ini, sangat wajar dan
biasa jika berbaur dan lekat dengan masyarakat desa. Karena pondok ini terletak
didusun Citangkolo. Dusun yang dahulu merupakan markas tentara untuk mengusir
penjajah dari bumi Jawa Barat ini.
Pondok yang berdiri sejak tahun 1960 ini sampai saat ini menjadi pusat
mengaji bagi masyarakat setempat. Budaya
NU kultural dan para kyai kampung yang tidak bisa terlepas menjadikan sikap
santri terbentuk dan bergerak untuk mempunyai jiwa toleran, simpati dan tolong
menolong.
Peran bu Nyai dalam pembangunan pondok salah satunya dengan beberapa
nasihatnya. Nasihat bukan sekedar nasihat. Seperti halnya seorang ibu yang
selalu menasihati anaknya, begitupun bu Nyai dengan santriwati. Nasihat yang
dilontarkan tidak hanya berbentuk ucapan saja, melainkan dengan dipraktekan
langsung dihadapan santriwati.
Nasihat seperti “Jangan sia-siakan makanan walau sedikit. Jangan hobi
membuang makanan,” merupakan hal kecil
yang terkesan biasa. Namun, tahukah anda jika dengan membuang makanan bisa
mengurangi keberkahan dari makanan itu. Bahkan dengan membuang makanan bisa
termasuk dalam golongan orang yang kurang bersyukur atas nikmat yang telah
diberikan oleh Allah SWT. Kata-kata itu terlontar kepada para santriwati
saat roan (bersih-bersih dilingkungan pondok pesantren).
Nasihat lainnya “Jadi orang itu harus tahu apa yang diinginkan oleh orang
yang ada disekitar kita, Kita harus menerapkan rasa simpati terhadap sesama
kita. Jika ada warga yang akan melakukan hajat seperti tasyakuran, baiknya kita
datang untuk membantunya”. Ajarnya. Kata-kata tersebut terlontar sesuai dengan
budaya santriwati untuk membantu warga sekitar dalam acara tasyakuran walimatul
ursy ataupun khitanan dan tasyakuran lainnya.
Contoh lain mengenai nilai dan sikap yaitu ketika dalam majelis sema’an
Al-Qur’an, pengajian ataupun perkumpulan dengan orang sholeh, adab berjalan ketika dalam majelis tersebut
yaitu berjalan setengah badan atau berjalan dengan memakai lutut sebagai
tumpuannya. Apalagi ketika mengaji pastilah berjalan dengan sikap melutut.
Sikap demikian merupakan cerminan untuk menghormati Al-Qur’an dan ahlinya. Seperti
nasihatnya, yaitu karena hormat lebih utama daripada ilmu.
Pola penddikan yang diterapkan dalam pondok ini sangat khas dengan budaya
orang kampung. Tapi bukan kampungan. Sikap dan perilaku yang diajarkan oleh
para pengasuhnya sangat toleran. Budaya yang saat ini langka dan hampir punah
dengan adanya tekhnologi yang mampu melupakan dan merubah budaya serta sikap
perilaku anak-anak zaman sekarang.
Sikap terpuji itu harus dimiliki oleh setiap manusia. Meskipun tidak
bisa dipungkiri setiap manusia pasti mempunyai sifat tercela yang hinggap pada
dirinya. “Budaya demikian yang sudah biasa dan tumbuh di masyarakat sekitar
pondok pesantren. Budaya itulah yang sedikit demi sedikit membentuk sikap dan
perilaku santri putri memiliki sikap toleran, simpati dan tolong menolong.
Setiap perintah yang keluar dari mulut seorang guru pasti menjadi
tanggung jawab santri untuk melakukannya. Semua santri akan patuh pada perintah
kyai dan Bu Nyai nya. Begitu pola ajaran yang diajarkan dipondok pesantren ini.
(Alazhar Media/Siti Aisyah/7/10/2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar