24 Oktober 2019

Tentang Pesantren


Oleh: Aji Muhammad Iqbal
Euforia kaum sarungan atau orang-orang pesantren beberapa tahun lalu masih terasa hingga saat ini. Bermula sejak diresmikannya tanggal 22 oktober menjadi Hari Santri Nasional. Meski pada waktu itu, terdapat dinamika antara pro dan kontra, namun sebagai kaum santri, saya patut mengapresiasi dan mengucapkan terimakasih kepada orang-orang yang sudah punya andil besar untuk memperjuangkannya. Kaum sarungan yang dulunya terkesan banyak orang bilang kusam, orang pinggiran dan kampungan, nyatanya hari ini sudah punya taring untuk unjuk gigi, mengikuti perkembangan zaman dan berdiaspora mengisi ruang – ruang kosong dalam segala aspek kehidupan. Diresmikannya Hari Santri Nasional ini bukan tanpa sebab, kalangan pesantren dalam lintasan sejarah sudah memberikan andil dan sumbangsih besar bagi bangsa Indonesia. Di zaman penjajahan misalnya, kalangan pesantren ikut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia hingga berdarah-darah, semenjak adanya Fatwa Resolusi Jihad, semangat perlawanan anti kolonialisme semakin menggebu-gebu hingga lahirlah peristiwa 10 November yang dinamakan hari Pahlawan. Bahkan sebelum peristiwa itu terjadi, menjelang kemerdekaan, pada mei 1945, Kyai Wahid Hasyim mengungkap sebuah pertanyaan: bagaimanakah caranya menempatkan agama di Indonesia merdeka, dengan tidak mengendorkan persatuan bangsa yang sangat perlu di waktu ini?” Artinya bahwa perhatian kalangan pesantren terhadap semangat persatuan bangsa sangatlah dijunjung tinggi.
Dalam lintasan sejarah, banyak para tokoh bangsa kita yang meyakini dan memuji kualitas pendidikan di pondok pesantren, diantaranya Ki Hajar Dewantara, yang sering disebut Bapak Pendidikan Bangsa kita. Dalam buku Pesantren Studies 2A, Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial, karya Ahmad Baso, Ki Hajar Dewantara berani tampil ke muka membicarakan pengintegrasian pesantren dalam konstruksi ke-Indonesia-an ditengah forum-forum politik. Seperti dalam sebuah forum pertemuan nasional aliansi politik nasionalis PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang dilangsungkan di Surabaya pada 30 Agustus -02 September 1928. Beliau mengungkapkan di forum tersebut tentang ide nationaal onderwijs atau pengajaran kebangsaan. Hal ini merupakan upaya Ki Hajar untuk meyakinkan pentingnya pendidikan nasional yang tidak mengikuti model kolonial. Meskipun Ki Hajar dalam mengutarakan ide national onderwijs itu tidak langsung mengarah pada pondok pesantren, namun dua bulan kemudian, ide tentang nationaal onderwijs dituangkan dalam media Taman Siswa, Wasita, edisi November 1928. di sana beliau menulis, Systeem Pondok dan Asrama itulah Systeem Pendidikan Nasional. Hal inilah yang menjadi bukti bahwa apa yang diutarakan Ki Hajar Dewantara tentang ide natioonal onderwijs, merupakan benar-benar mengakui system pendidikan pondok pesantren.
Mulai zaman dahulu, hingga sekarang rakyat kita mempunyai rumah pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau sekarang “pondok pesantren”, kalau di jaman kabudan (Hindu-Budha) dinamakan pawiyatan atau asrama. Adapun sifatnya pesantren atau pondok dan asrama yaitu rumahnya kiai guru (Ki Hajar) yang dipakai buat pondokan santri-santri (cantrik-cantrik) dan buat pengajaran juga. Di situ karena guru dan murid tiap-tiap hari, siang malam berkumpul jadi satu, maka pengajaran dengan sendirinya selalu berhubungan dengan pendidikan.
Pada jaman sekarang pondok itu hanya terpakai buat pengajaran agama saja, tetapi pada jaman asrama rumah guru itu tidak cuma rumah pengajaran agama saja, tetapi juga rumah pengajaran rupa-rupa ilmu, yaitu: agama, ilmu alam, falakia, ilmu hukum, bahasa, filsafat, seni, keprajuritan, dan lain-lain pengetahuan yang dulu sudah dipelajari oleh kaum terpelajar,” tulis Ki Hajar Dewantara.
Secara substansi, pesantren bukan hanya bangunan yang dipenuhi generasi bangsa tanpa ada tujuan. Kapabalitas pesantren dalam mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara tidak diragukan lagi. Menurut Zidni Nafi, dalam bukunya Menjadi Islam Menjadi Indonesia, pesantren dibangun tidak lepas dari  al-mas’uliyah al-arba’ah (empat kapabilitas). Pertama, kata Zidni, al-mas’uliyah al-diniyah (religious capability) yaitu pesantren sebagai sarana penyebaran dakwah islam. Tentunya, sebagai pendidikan keagamaan, pesantren memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan agama Islam yang memiliki nilai-nilai moral, agama yang penuh kasih sayang, agama yang menghargai perbedaan dan menjadi harapan mengatasi problematika keagamaan kebangsaan. Kedua, al-mas’uliyah al-tsaqafiyah (educational capability) yaitu lebih meningkatkan kualitas pembelajaran dan pendidikan dalam membangun umat dan bangsa Indonesia. Tanpa adanya kualitas pendidikan, Sumber Daya Manusia bangsa kita lemah dan mudah dibodohi bangsa lain. Ketiga, al-mas’uliyah al-‘amaliyah (practice capability) yaitu mejadikan syariat sebagai landasan untuk membangun relasi kehidupan sosial-masyarakat. Dari dulu hingga kini, pesantren menjadi aktor inspirasi bagi ruh kebangsaan kita. Semangat  persatuan, kemandirian, gotong royong, kemerdekaan dan kerakyatan, telah melekat dalam dunia pesantren.  Keempat, al-mas'ul’yah al-khuluqiyyah (moral capability) memfokuskan perilaku akhlakul karimah sebagai target pencapaian membangun generasi bangsa yang beradab.
Bagaimanapun, refleksi para tokoh bangsa seperti Ki Hajar Dewantara  tentang persoalan pesantren dalam konteks penjajahan maupun pasca penjajahan, tentu menjadi bahan refleksi  kita semua betapa hebatnya keberadaan pesantren mempengaruhi kualitas pendidikan bangsa kita. Bahkan, bicara pesantren bukan hanya bicara tentang system pendidikan. Lebih dari itu, pesantren memang benar-benar menyiapkan arah, tujuan, desain seperti apa bangsa Indonesia ini dibuat untuk masa mendatang (pasca penjajahan). Dan kini, pesantren dituntut untuk mempertahankan eksistensinya ditengah hiruk pikuknya kondisi bangsa kita. Isu radikalisme yang tak pernah surut, menjadi hal yang sangat memprihatinkan bagi bangsa kita. Disinilah pesantren pun harus memainkan perannya untuk menjawab problematika yang sedang dihadapi oleh Negara kita tercinta. Suka atau tidak suka, pesantren sudah banyak berkontribusi bagi bangsa ini. Maka semangat kebangsaan kalangan pesantren janganlah luntur sampai kapanpun. Meminjam istilah Ahmad Baso, pesantren bukanlah antithesis terhadap ideologi keindonesiaan. Tapi saya yakin, selama budaya gotong royong, budaya humor pesantren masih melekat dalam bilik pesantren, selama itu pula, semangat kebangsaan semakin tumbuh dan pesantren jauh dari kata kekerasan.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar