Oleh: Aji Muhammad Iqbal
Euforia kaum sarungan atau
orang-orang pesantren beberapa tahun lalu masih terasa hingga saat ini. Bermula
sejak diresmikannya tanggal 22 oktober menjadi Hari Santri Nasional. Meski pada
waktu itu, terdapat dinamika antara pro dan kontra, namun sebagai kaum santri,
saya patut mengapresiasi dan mengucapkan terimakasih kepada orang-orang yang
sudah punya andil besar untuk memperjuangkannya. Kaum sarungan yang dulunya
terkesan banyak orang bilang kusam, orang pinggiran dan kampungan, nyatanya
hari ini sudah punya taring untuk unjuk gigi, mengikuti perkembangan zaman dan
berdiaspora mengisi ruang – ruang kosong dalam segala aspek kehidupan. Diresmikannya Hari Santri Nasional ini bukan tanpa sebab,
kalangan pesantren dalam lintasan sejarah sudah memberikan andil dan sumbangsih
besar bagi bangsa Indonesia. Di zaman penjajahan misalnya, kalangan pesantren
ikut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia hingga berdarah-darah, semenjak
adanya Fatwa Resolusi Jihad, semangat perlawanan anti kolonialisme semakin
menggebu-gebu hingga lahirlah peristiwa 10 November yang dinamakan hari
Pahlawan. Bahkan
sebelum peristiwa itu terjadi, menjelang kemerdekaan, pada mei 1945, Kyai Wahid
Hasyim mengungkap sebuah pertanyaan: bagaimanakah caranya menempatkan agama di
Indonesia merdeka, dengan tidak mengendorkan persatuan bangsa yang sangat perlu
di waktu ini?” Artinya bahwa perhatian kalangan pesantren terhadap semangat
persatuan bangsa sangatlah dijunjung tinggi.
Dalam lintasan sejarah, banyak para tokoh bangsa kita yang meyakini dan
memuji kualitas pendidikan di pondok pesantren, diantaranya Ki Hajar
Dewantara, yang sering disebut Bapak Pendidikan Bangsa kita. Dalam buku Pesantren
Studies 2A, Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial, karya
Ahmad Baso, Ki Hajar Dewantara berani tampil ke muka membicarakan pengintegrasian pesantren dalam konstruksi
ke-Indonesia-an ditengah forum-forum politik. Seperti dalam sebuah forum
pertemuan nasional aliansi politik nasionalis PPPKI (Permufakatan
Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang dilangsungkan di
Surabaya pada 30 Agustus -02 September 1928. Beliau mengungkapkan
di forum tersebut tentang ide nationaal
onderwijs atau
pengajaran kebangsaan. Hal ini merupakan upaya Ki Hajar untuk meyakinkan
pentingnya pendidikan nasional yang tidak mengikuti model kolonial. Meskipun Ki Hajar dalam mengutarakan ide national onderwijs itu tidak
langsung mengarah pada pondok pesantren, namun dua bulan kemudian, ide tentang nationaal onderwijs
dituangkan dalam media Taman Siswa, Wasita, edisi November 1928. di sana beliau
menulis, Systeem Pondok dan Asrama itulah Systeem Pendidikan Nasional. Hal inilah yang menjadi bukti bahwa apa yang diutarakan Ki Hajar
Dewantara tentang ide natioonal onderwijs, merupakan benar-benar mengakui
system pendidikan pondok pesantren.
“Mulai zaman
dahulu, hingga sekarang rakyat kita mempunyai rumah pengajaran yang juga
menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau sekarang “pondok pesantren”, kalau di
jaman kabudan (Hindu-Budha) dinamakan pawiyatan atau asrama.
Adapun sifatnya pesantren atau pondok dan asrama yaitu rumahnya kiai guru (Ki
Hajar) yang dipakai buat pondokan santri-santri (cantrik-cantrik) dan buat
pengajaran juga. Di situ karena
guru dan murid tiap-tiap hari, siang malam berkumpul jadi satu, maka pengajaran
dengan sendirinya selalu berhubungan dengan pendidikan.
Pada jaman sekarang pondok itu hanya terpakai
buat pengajaran agama saja, tetapi pada jaman asrama rumah guru itu tidak cuma rumah
pengajaran agama saja, tetapi juga rumah pengajaran rupa-rupa ilmu, yaitu:
agama, ilmu alam, falakia, ilmu hukum, bahasa, filsafat, seni, keprajuritan,
dan lain-lain pengetahuan yang dulu sudah dipelajari oleh kaum terpelajar,” tulis Ki Hajar Dewantara.
Secara substansi,
pesantren bukan hanya bangunan yang dipenuhi generasi bangsa tanpa ada tujuan.
Kapabalitas pesantren dalam mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara tidak
diragukan lagi. Menurut Zidni Nafi, dalam bukunya Menjadi Islam Menjadi
Indonesia, pesantren dibangun tidak lepas dari al-mas’uliyah al-arba’ah (empat
kapabilitas). Pertama, kata Zidni, al-mas’uliyah al-diniyah (religious
capability) yaitu pesantren sebagai sarana penyebaran dakwah islam.
Tentunya, sebagai pendidikan keagamaan, pesantren memiliki tanggung jawab untuk
menyebarkan agama Islam yang memiliki nilai-nilai moral, agama yang penuh kasih
sayang, agama yang menghargai perbedaan dan menjadi harapan mengatasi
problematika keagamaan kebangsaan. Kedua, al-mas’uliyah al-tsaqafiyah
(educational capability) yaitu lebih meningkatkan kualitas pembelajaran dan
pendidikan dalam membangun umat dan bangsa Indonesia. Tanpa adanya kualitas
pendidikan, Sumber Daya Manusia bangsa kita lemah dan mudah dibodohi bangsa
lain. Ketiga, al-mas’uliyah al-‘amaliyah (practice capability)
yaitu mejadikan syariat sebagai landasan untuk membangun relasi kehidupan
sosial-masyarakat. Dari dulu hingga kini, pesantren menjadi aktor inspirasi
bagi ruh kebangsaan kita. Semangat
persatuan, kemandirian, gotong royong, kemerdekaan dan kerakyatan, telah
melekat dalam dunia pesantren. Keempat,
al-mas'ul’yah al-khuluqiyyah (moral capability) memfokuskan perilaku
akhlakul karimah sebagai target pencapaian membangun generasi bangsa yang
beradab.
Bagaimanapun, refleksi para tokoh
bangsa seperti Ki Hajar Dewantara
tentang persoalan pesantren dalam konteks penjajahan maupun pasca
penjajahan, tentu menjadi bahan refleksi kita semua betapa hebatnya keberadaan
pesantren mempengaruhi kualitas pendidikan bangsa kita. Bahkan, bicara pesantren
bukan hanya bicara tentang system pendidikan. Lebih dari itu, pesantren memang
benar-benar menyiapkan arah, tujuan, desain seperti apa bangsa Indonesia ini
dibuat untuk masa mendatang (pasca penjajahan). Dan kini, pesantren dituntut
untuk mempertahankan eksistensinya ditengah hiruk pikuknya kondisi bangsa kita.
Isu radikalisme yang tak pernah surut, menjadi hal yang sangat memprihatinkan
bagi bangsa kita. Disinilah pesantren pun harus memainkan perannya untuk
menjawab problematika yang sedang dihadapi oleh Negara kita tercinta. Suka atau
tidak suka, pesantren sudah banyak berkontribusi bagi bangsa ini. Maka semangat
kebangsaan kalangan pesantren janganlah luntur sampai kapanpun. Meminjam
istilah Ahmad Baso, pesantren bukanlah antithesis terhadap ideologi
keindonesiaan. Tapi saya yakin, selama budaya gotong royong, budaya humor
pesantren masih melekat dalam bilik pesantren, selama itu pula, semangat
kebangsaan semakin tumbuh dan pesantren jauh dari kata kekerasan.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar