25 Oktober 2020

LIQUIDITAS FIQIH ISLAM MELALUI METODE ANALOGI DAN IJTIHADI MERUPAKAN IKHTIYAR PEMELIHARAAN MAQASYID AL-SYARI'AH

 

Oleh : Mugni Muhit

(Alumni Keluarga Miftahul Huda Al-Azhar/ALKAMAL)

 

Fiqih diyakini sebagai buah pemikiran yang dilahirkan dari pemahaman hati dan akal secara terintegrasi. Bahkan disempurnakan lagi dengan pertimbangan budaya dan tradisi masyarakat. Liquiditas fiqih sangat tergantung kepada kapasitas, kafabilitas, dan daya nalar serta kekuatan logika mujtahid. Maka seorang mujtahid akan melakukan ijtihadnya melalui metodologi istimbath al-ahkam yang tepat. Proses penetapan hukum ini merupakan upaya para ulama mujtahidin sebagai bentuk tanggungjawab melindungi amaliyah kaum mukminin agar tetap pada koridor yang baik dan benar. Indikator kebenaran upaya ini adalah adanya semangat komitemen terhadap maqasyid al-syari'ah. Tujuan hukum islam sejatinya menjadi parameter sekaligus landasan penetapan hukum tersebut.

 

Berikut adalah metode dalam melakukan proses ijtihad, baik ijtihad dijalankan secara personal maupun secara kolektif atau berjamaah dengan orang lain.

 

Pertama, Ijma' atau kesepakatan bersama. Ijma' ini merupakan bentuk persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli tentang suatu masalah pada suatu tempat disuatu masa tertentu.

 

Kedua, qiyas, adalah proses menyamakan hukum yang ketentuannya tidak terdapat di dalam Al-Qur'an dan As-Sunah (nash) dengan fakta hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an dan assunnah karena persamaan illatnya. Misalnya:  Larangan meminum khamr yang terdapat dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 90. Yang menyebabkan minuman itu dilarang adalah illatnya yakni memabukkan. Sebab minuman yang memabukkan, dari apapun ia dibuat, hukumnya sama dengan khamr yaitu dilarang untuk diminum. Dan untuk menghindari akibat buruk meminum minuman yang memabukkan itu, mak dengan qiyas pula ditetapkan semua minuman yang memabukkan, apapun namanya, dilarang dikonsumsi dan diperjualbelikan.

 

Term 'memabukan' mengandung pengertian hilangnya akal, hilangnya kesadaran, hilangnya kontrol diri, berkurangnya fungsi akal, hingga yang bersangkutan tidak dapat lagi membedakan hak dan batil secara baik dan benar. Kerusakan fisik dan psikis merupakan indikator bahwa seseorang mabuk akibat minuman khamr atau yang disamakan illatnya dengan khamar.

 

Ketiga, Istidlal, adalah metode pengambilan dan penetapan hukum berdasarkan dalil dengan menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan.

Contoh: Menarik kesimpulan dari adat-istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum islam.

 

Keempat, Maslahah Al-Mursalah, adalah cara menemukan hukum amaliyah yang tidak ketentuannya tidak ditemukan baik di dalam Al-Qur'an maupun dalam kitab-kitab hadist, berdasarkan pertimbangan kebajikan masyarakat atau kepentingan umum.

Contoh: Pembenaran pemungutan pajak  itu masih tetap berlaku selama belum ada bukti dan saksi yang menyatakan bahwa perjalanan utang piutang telah berakhir.

 

Kelima, Istihshan, adalah cara menentukan hukum dengan cara menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Atau suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat menurut suatu keadaan.

Contoh: pencabutan hak milik seseorang atas tanah untuk pembangunan sarana umum.

 

Keenam Istishab, adalah menetapkan hukum tertentu dengan mengacu kepada keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang mengubahnya.

Contoh: fulan mengadakan perjanjian utang piutang dengan hindun, menurut fulan telah dibayar, tanpa menunjukkan bukti atau saksi dalam kasus ini berdasarkan istisab dapat ditetapkan bahwa fulan masih belum membayar utangnya dan perjanjian ini masih berlaku selama masih belum ada bukti dan saksi yang menyatakan bahwa perjanjian utang piutang tersebut telah berakhir.

 

Ketujuh, 'urf  atau adat istiadat adalah yang tidak bertentangan dengan hukum islam dapat dikukuhkan tetap harus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.

Contoh: melamar wanita dengan memberikan suatu tanda (pengikat) , pembayaran mahar secara tunai atau utang atas persetujuan kedua belah pihak dan lain-lain.

 

Berdasarkan pemahaman di atas, qiyas merupakan:

1. Proses analogi hukum yang tidak dijelaskan dalam nash

2. Ikhtiar manusia untuk mencari dan menetapkan hukum tertentu melalui kemampuan logika yang dikoneksikan dengan sumber hukum yang ada

3. Cara berpikir induktif yang efektif dalam istimbath al-ahkam

 

Sedangkah ijtihad mengandung makna:

1. Upaya penggalian hukum dengan pendekatan akal, logika dan rasional secara terintegrasi serta dilakukan dengan penuh kesungguhan

2. Metode penemuan hukum yang tidak tegas disebutkan di dalam sumber atau nash

3. Bentuk optimisme dan wujud tawakal kepada Allah dalam menemkan jalan keluar dari persoalan hidup yang ketentuannya tidak ditemukan dalam nash.

 

Hasil dari semua metode ijtihad tersebut seyogyanya diinternalisasikan dengan tujuan hukum islam (maqasyid al-syari'ah). Hifdh al-din adalah tujuan yang paling mendasar dan utama. Agama ibarat jantung yang memompa darah ke seluruh organ tubuh. Tubuh akan segar bugar, sehat dan kuat setelah mendapatkan spirit darah yang ditransformasi jantung. Jika jantung itu sakit dan tidak dapat berfungsi sebagaimana seharusnya, maka rusak dan sakitlah seluruh tubuh.

 

Demikian juga agama, ia adalah spirit luar biasa bagi kebajikan dan kemaslahatan hidup manusia. Maka saat agama (Islam) ternodai, terdzalimi dan atau dirusak oleh apa dan siapapun, maka segeralah untuk menjaga dan melindunginya. Hal ini agar citra dan kehormatan din al-Islam terpelihara denga baik. Seluruh ajaran, doktrin, dan petunjuk agama (Islam) harus dipastikan terlindungi dengan maksimal melalui rutinitas kerja dan amal spritual, intelektual, dan sosial.

 

Hifdh al-nafs adalah tujuan kedua dari hukum islam. Jiwa raga seutuhnya ini adalah amanat sekaligus anugerah terbak dan terindah dari Allah Azza wajalla. Karena itulah tidak ada alasan untuk tidak mensyukurinya dengan cara menajaga dan meindungi jiwa raga dari kerusakan lahiriyah maupun batiniyah.

 

Hifd al-'aql adalah tanggungjawab penting ketiga manusia sebagai hamba-Nya. Akal inilah yang menjadikan harkat dan martabat manusia begitu tinggi dan ditibggikan Allah Swt. Akal juga yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya termasuk binatang. Binatang sama sekali tidak berakal, karena ia melakukan apa saja sesuai dengan hawa nafsunya sendiri tanpa ada pilter akal yang mwngawalnya. Bagi binatang tidak ada hal baik atau buruk, selama ia bisa dan mau melakukannya, maka selama itu ia akan lakukan tanpa pertimbangan baik dan buruk, benar dan salah. Maka manakala ada manusia yang tidak menggunakan akalnya dengan bak, ia tidak berbeda kualitasnya dengan binatang. Untuk kepentingan itulah manusia berkewajiban memastikan akalnya sehat untuk memikirkan bagaimana memakmurkan bumi amanat Allah ini dengan profesional dan proporsional dalam kerangka ibadah kepada-Nya.

 

Hifdh al-nasl adalah menjaga dan melindungi keturunan. Kesucian dan fitrah anak dan keturunan manusia wajib dijaga. Suci dan fitrahnya manusia itu dimulai sejak lahir. Maka sebelum terlahir, harus ada upaya yang sejalan dengan hukum Islam, yakni akad nikah. Hubungan laki-laki dan perempuan akan menajdi sehat dan halal jika disatukan dalam akad nikah sesuai teladan Nabi Muhammad Saw. Syariat inilah yang memastikan bahwa keturunan kita akan baik baik saja, dan memiliki kepribadian yang quranik dan nabawi.

 

Yang terakhir adalah hifdh al-maal, yakni menjaga dan melindungi kepemilikan harta. Harta benda yang menjadi hak miliknya adalag juga amanat dari sang Khaliq. Tidak dibenarkan harta tersebut tercemar, tidak bermanfaat, dan mubadzir. Kebermanfaatan harta seharusnya dinikmati tidak hanya oleh diri sendiri tetapi mereka yang berhak atas harta kita pun harus diperhatikan. Dari sinilah akan terlahir sikap toleransi, kepekaan, solidaritas, kebersamaan, dan sikap sosial lainnya sebagai anak kandung dari hifdh al-maal. Agama yang terjaga, jiwa yang terlindungi, akal yang dipelihara, keturunan yang sah dan halal, serta harta yang berkah, akan menjadi pengawal kemaslahatan, baik di dunia kini maupun di akhirat kelak.

 

Proses ijtihad yang benar adalah proses ijtihad yang dilakukan dengan senantiasa mempertimbangkan kedudukan, fungsi dan peran serta tujuan hukum islam. Dengan sendirinya liquiditas hukum islam akan establish membimbing langkah spiritual dan intelektual manusia dalam rangka ibadah kepada-Nya.

 

Ada banyak fenomena transaksi modern yang ketentuannya tidak ada dalam nash. Mulai dari bidang kajian ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan sistem pertahanan dan keamanan. Vitalitas sistem ekonomi dan keuangan mendorong para teoritisi dan praktisi ekonomi untuk terus mengembangkan kegiatan ekonomi. Berbagai  jenis layanan dan aktivitas ekonomi bermunculan. Secara filosofi, kegiatan muamalah atau ekonomi bertujuan untuk menguatkan sistem hidup dan kehidupan pribadi dan sosial dalam koridor tata negara yang makmur dan memakmurkan serta senapas dengan paradigma islam. Untuk itulah sistem ekonomi yang marhamah sekaligus rahmat bagi semesta, adalah sistem ekonomi islam. Nabi Agung Muhammad saw sebagai bapak ekonomi islam, dan panutan kegiatan muamalah umat Islam, mesti dijadikan landasan dalam pengelolaan ekonomi modern. Fakta empirik menunjukan bahwa ternyata dari berbagai sistem ekonomi dunia, hanya ekonomi islam (syariah) yang cenderung bertahan dan terus bergerak maju. Progresnya begitu nyata, walau memang lambat. Keterlambatannya bukan karena lemah secara sistem, namun sumber daya manusia (SDM) nya yang dirasa belum optimal.

 

Adalah PR besar bagi umat islam untuk fokus kepada ikhtiar penguaatan mutu dan kafasistas sumber daya manusia. Tentu regulasi dan berbagai peraturan lainnya yang beririsan dengan tata kelola ekonomi dan keuangan secara nasional harus komiten kepada sistem ekonomi islam. Keberpihakan dalam hal ini sangat penting untuk eksis dan berjalannya sistem ekonomi islam secara optimal. Keberpihakan negara, investor, pengusaha, dan tentunya ulama sebagai pilar utama termanipestasikannya sistem ekonomi islam, semua harus bersinergi dengan baik. Enam pilar membumikan sistem ekonomi islam di era 4.0, yaitu: penguatan sumber daya manusia, penguasaan teknologi, pemberdayaan potensi dan kearifan lokal (local wisdom), publikasi internasional potensi budaya daerah, optimalisasi kooperatif nasional dengan negara-negara maju, dan komitmen spiritual dan intelektual dalam implementasi idiologi dan perundang-undangan secara komprehensip dan terpadu. Dalam hal ini keterpaduan antara nila agama, kultur, dan modernisasi harus dimantapkan melalui paradigma dan mindset moderasi keindonesiaan dan keislaman. InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar