Oleh : Mugni Muhit
(Alumni Keluarga Miftahul
Huda Al-Azhar/ALKAMAL)
Fiqih diyakini sebagai buah pemikiran yang
dilahirkan dari pemahaman hati dan akal secara terintegrasi. Bahkan
disempurnakan lagi dengan pertimbangan budaya dan tradisi masyarakat.
Liquiditas fiqih sangat tergantung kepada kapasitas, kafabilitas, dan daya nalar
serta kekuatan logika mujtahid. Maka seorang mujtahid akan melakukan ijtihadnya
melalui metodologi istimbath al-ahkam yang tepat. Proses penetapan hukum ini
merupakan upaya para ulama mujtahidin sebagai bentuk tanggungjawab melindungi
amaliyah kaum mukminin agar tetap pada koridor yang baik dan benar. Indikator
kebenaran upaya ini adalah adanya semangat komitemen terhadap maqasyid
al-syari'ah. Tujuan hukum islam sejatinya menjadi parameter sekaligus landasan
penetapan hukum tersebut.
Berikut adalah metode dalam melakukan proses
ijtihad, baik ijtihad dijalankan secara personal maupun secara kolektif atau
berjamaah dengan orang lain.
Pertama, Ijma' atau kesepakatan bersama. Ijma'
ini merupakan bentuk persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli tentang
suatu masalah pada suatu tempat disuatu masa tertentu.
Kedua, qiyas, adalah proses menyamakan hukum
yang ketentuannya tidak terdapat di dalam Al-Qur'an dan As-Sunah (nash) dengan
fakta hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an dan assunnah karena persamaan illatnya.
Misalnya: Larangan meminum khamr yang
terdapat dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 90. Yang menyebabkan minuman itu
dilarang adalah illatnya yakni memabukkan. Sebab minuman yang memabukkan, dari
apapun ia dibuat, hukumnya sama dengan khamr yaitu dilarang untuk diminum. Dan
untuk menghindari akibat buruk meminum minuman yang memabukkan itu, mak dengan
qiyas pula ditetapkan semua minuman yang memabukkan, apapun namanya, dilarang
dikonsumsi dan diperjualbelikan.
Term 'memabukan' mengandung pengertian hilangnya
akal, hilangnya kesadaran, hilangnya kontrol diri, berkurangnya fungsi akal,
hingga yang bersangkutan tidak dapat lagi membedakan hak dan batil secara baik
dan benar. Kerusakan fisik dan psikis merupakan indikator bahwa seseorang mabuk
akibat minuman khamr atau yang disamakan illatnya dengan khamar.
Ketiga, Istidlal, adalah metode pengambilan dan
penetapan hukum berdasarkan dalil dengan menarik kesimpulan dari dua hal yang
berlainan.
Contoh: Menarik kesimpulan dari adat-istiadat
dan hukum agama yang diwahyukan sebelum islam.
Keempat, Maslahah Al-Mursalah, adalah cara
menemukan hukum amaliyah yang tidak ketentuannya tidak ditemukan baik di dalam
Al-Qur'an maupun dalam kitab-kitab hadist, berdasarkan pertimbangan kebajikan
masyarakat atau kepentingan umum.
Contoh: Pembenaran pemungutan pajak itu masih tetap berlaku selama belum ada
bukti dan saksi yang menyatakan bahwa perjalanan utang piutang telah berakhir.
Kelima, Istihshan, adalah cara menentukan hukum
dengan cara menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan
kepentingan sosial. Atau suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat
menurut suatu keadaan.
Contoh: pencabutan hak milik seseorang atas
tanah untuk pembangunan sarana umum.
Keenam Istishab, adalah menetapkan hukum tertentu
dengan mengacu kepada keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang
mengubahnya.
Contoh: fulan mengadakan perjanjian utang
piutang dengan hindun, menurut fulan telah dibayar, tanpa menunjukkan bukti
atau saksi dalam kasus ini berdasarkan istisab dapat ditetapkan bahwa fulan
masih belum membayar utangnya dan perjanjian ini masih berlaku selama masih
belum ada bukti dan saksi yang menyatakan bahwa perjanjian utang piutang
tersebut telah berakhir.
Ketujuh, 'urf
atau adat istiadat adalah yang tidak bertentangan dengan hukum islam
dapat dikukuhkan tetap harus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Contoh: melamar wanita dengan memberikan suatu
tanda (pengikat) , pembayaran mahar secara tunai atau utang atas persetujuan
kedua belah pihak dan lain-lain.
Berdasarkan pemahaman di atas, qiyas merupakan:
1. Proses analogi hukum yang tidak dijelaskan
dalam nash
2. Ikhtiar manusia untuk mencari dan menetapkan
hukum tertentu melalui kemampuan logika yang dikoneksikan dengan sumber hukum
yang ada
3. Cara berpikir induktif yang efektif dalam
istimbath al-ahkam
Sedangkah ijtihad mengandung makna:
1. Upaya penggalian hukum dengan pendekatan
akal, logika dan rasional secara terintegrasi serta dilakukan dengan penuh
kesungguhan
2. Metode penemuan hukum yang tidak tegas
disebutkan di dalam sumber atau nash
3. Bentuk optimisme dan wujud tawakal kepada
Allah dalam menemkan jalan keluar dari persoalan hidup yang ketentuannya tidak
ditemukan dalam nash.
Hasil dari semua metode ijtihad tersebut
seyogyanya diinternalisasikan dengan tujuan hukum islam (maqasyid al-syari'ah).
Hifdh al-din adalah tujuan yang paling mendasar dan utama. Agama ibarat jantung
yang memompa darah ke seluruh organ tubuh. Tubuh akan segar bugar, sehat dan
kuat setelah mendapatkan spirit darah yang ditransformasi jantung. Jika jantung
itu sakit dan tidak dapat berfungsi sebagaimana seharusnya, maka rusak dan
sakitlah seluruh tubuh.
Demikian juga agama, ia adalah spirit luar biasa
bagi kebajikan dan kemaslahatan hidup manusia. Maka saat agama (Islam)
ternodai, terdzalimi dan atau dirusak oleh apa dan siapapun, maka segeralah
untuk menjaga dan melindunginya. Hal ini agar citra dan kehormatan din al-Islam
terpelihara denga baik. Seluruh ajaran, doktrin, dan petunjuk agama (Islam)
harus dipastikan terlindungi dengan maksimal melalui rutinitas kerja dan amal
spritual, intelektual, dan sosial.
Hifdh al-nafs adalah tujuan kedua dari hukum
islam. Jiwa raga seutuhnya ini adalah amanat sekaligus anugerah terbak dan
terindah dari Allah Azza wajalla. Karena itulah tidak ada alasan untuk tidak
mensyukurinya dengan cara menajaga dan meindungi jiwa raga dari kerusakan
lahiriyah maupun batiniyah.
Hifd al-'aql adalah tanggungjawab penting ketiga
manusia sebagai hamba-Nya. Akal inilah yang menjadikan harkat dan martabat
manusia begitu tinggi dan ditibggikan Allah Swt. Akal juga yang membedakan
manusia dengan makhluk lainnya termasuk binatang. Binatang sama sekali tidak
berakal, karena ia melakukan apa saja sesuai dengan hawa nafsunya sendiri tanpa
ada pilter akal yang mwngawalnya. Bagi binatang tidak ada hal baik atau buruk,
selama ia bisa dan mau melakukannya, maka selama itu ia akan lakukan tanpa
pertimbangan baik dan buruk, benar dan salah. Maka manakala ada manusia yang
tidak menggunakan akalnya dengan bak, ia tidak berbeda kualitasnya dengan
binatang. Untuk kepentingan itulah manusia berkewajiban memastikan akalnya
sehat untuk memikirkan bagaimana memakmurkan bumi amanat Allah ini dengan
profesional dan proporsional dalam kerangka ibadah kepada-Nya.
Hifdh al-nasl adalah menjaga dan melindungi
keturunan. Kesucian dan fitrah anak dan keturunan manusia wajib dijaga. Suci
dan fitrahnya manusia itu dimulai sejak lahir. Maka sebelum terlahir, harus ada
upaya yang sejalan dengan hukum Islam, yakni akad nikah. Hubungan laki-laki dan
perempuan akan menajdi sehat dan halal jika disatukan dalam akad nikah sesuai
teladan Nabi Muhammad Saw. Syariat inilah yang memastikan bahwa keturunan kita
akan baik baik saja, dan memiliki kepribadian yang quranik dan nabawi.
Yang terakhir adalah hifdh al-maal, yakni
menjaga dan melindungi kepemilikan harta. Harta benda yang menjadi hak miliknya
adalag juga amanat dari sang Khaliq. Tidak dibenarkan harta tersebut tercemar,
tidak bermanfaat, dan mubadzir. Kebermanfaatan harta seharusnya dinikmati tidak
hanya oleh diri sendiri tetapi mereka yang berhak atas harta kita pun harus
diperhatikan. Dari sinilah akan terlahir sikap toleransi, kepekaan,
solidaritas, kebersamaan, dan sikap sosial lainnya sebagai anak kandung dari
hifdh al-maal. Agama yang terjaga, jiwa yang terlindungi, akal yang dipelihara,
keturunan yang sah dan halal, serta harta yang berkah, akan menjadi pengawal
kemaslahatan, baik di dunia kini maupun di akhirat kelak.
Proses ijtihad yang benar adalah proses ijtihad
yang dilakukan dengan senantiasa mempertimbangkan kedudukan, fungsi dan peran
serta tujuan hukum islam. Dengan sendirinya liquiditas hukum islam akan
establish membimbing langkah spiritual dan intelektual manusia dalam rangka
ibadah kepada-Nya.
Ada banyak fenomena transaksi modern yang
ketentuannya tidak ada dalam nash. Mulai dari bidang kajian ekonomi, politik,
sosial, budaya, pendidikan, dan sistem pertahanan dan keamanan. Vitalitas
sistem ekonomi dan keuangan mendorong para teoritisi dan praktisi ekonomi untuk
terus mengembangkan kegiatan ekonomi. Berbagai
jenis layanan dan aktivitas ekonomi bermunculan. Secara filosofi,
kegiatan muamalah atau ekonomi bertujuan untuk menguatkan sistem hidup dan
kehidupan pribadi dan sosial dalam koridor tata negara yang makmur dan
memakmurkan serta senapas dengan paradigma islam. Untuk itulah sistem ekonomi
yang marhamah sekaligus rahmat bagi semesta, adalah sistem ekonomi islam. Nabi
Agung Muhammad saw sebagai bapak ekonomi islam, dan panutan kegiatan muamalah
umat Islam, mesti dijadikan landasan dalam pengelolaan ekonomi modern. Fakta
empirik menunjukan bahwa ternyata dari berbagai sistem ekonomi dunia, hanya
ekonomi islam (syariah) yang cenderung bertahan dan terus bergerak maju.
Progresnya begitu nyata, walau memang lambat. Keterlambatannya bukan karena
lemah secara sistem, namun sumber daya manusia (SDM) nya yang dirasa belum
optimal.
Adalah PR besar bagi umat islam untuk fokus kepada ikhtiar penguaatan mutu dan kafasistas sumber daya manusia. Tentu regulasi dan berbagai peraturan lainnya yang beririsan dengan tata kelola ekonomi dan keuangan secara nasional harus komiten kepada sistem ekonomi islam. Keberpihakan dalam hal ini sangat penting untuk eksis dan berjalannya sistem ekonomi islam secara optimal. Keberpihakan negara, investor, pengusaha, dan tentunya ulama sebagai pilar utama termanipestasikannya sistem ekonomi islam, semua harus bersinergi dengan baik. Enam pilar membumikan sistem ekonomi islam di era 4.0, yaitu: penguatan sumber daya manusia, penguasaan teknologi, pemberdayaan potensi dan kearifan lokal (local wisdom), publikasi internasional potensi budaya daerah, optimalisasi kooperatif nasional dengan negara-negara maju, dan komitmen spiritual dan intelektual dalam implementasi idiologi dan perundang-undangan secara komprehensip dan terpadu. Dalam hal ini keterpaduan antara nila agama, kultur, dan modernisasi harus dimantapkan melalui paradigma dan mindset moderasi keindonesiaan dan keislaman. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar