Oleh: Aji Muhammad Iqbal
Tak perlu ditanyakan lagi soal nasionalisme kaum santri.
Nasionalisme kaum santri bukanlah sekedar slogan semata seperti yang
didengung-dengungkan oleh para kaum birokrat.
Nasionalisme kaum santri adalah nasionalisme kerakyatan. Mereka
tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Kebanyakan
dari mereka adalah orang-orang desa. Dari desalah mereka hidup dengan penuh
kesederhanaan, tidak banyak neko-neko. Mereka sangat yakin ungkapan Pramoediya
Ananta Toer, bahwa kesederhanaan merupakan kekayaan terbesar di dunia ini.
Kesederhanaan adalah suatu karunia alam.
Dari desa juga mereka mampu mengembangkan potensi ekonomi pedesaan,
dengan bertani dan bercocok tanam. Mereka pun dapat menghirup udara sejuk
pedesaan, merasakan getaran perlawanan rakyat jika ada yang menindas dan
bertindak sewenang-wenang terhadap tanah desanya. Dari desa mereka menjadi
promotor budaya, menghidupkan rutinan yasinan, tahlilan, mauludan, rajaban, dan
budaya lainnya.
Sebenarnya apa yang menjadi kehidupan kaum santri di desa dan
pesantren, merupakan akar kebangsaan rakyat Indonesia. Dari desa dan pesantren,
mereka membangun solidaritas sosial yang kokoh, berdikari, ikhlas serta memiliki
semangat etos kerja yang tinggi.
Kiai Saifudin Zuhri, dalam bukunya Guruku Orang-orang dari
Pesantren, menulis tentang gambaran kehidupan santri. Menurutnya, para
santri merupakan anak-anak rakyat.
Mereka paham betul tentang arti dari kata rakyat, kebudayaan rakyat,
keseniannya, agamanya, jalan pikirannya, cara hidupnya, semangat dan
cita-citanya, suka dukanya, nasibnya, serta liku-liku kehidupan rakyat. Mereka,
kata Kiai Saifudin Zuhri, terlahir dari
sana, serta hidup dan matipun dari sana pula. Sebab itu, lanjut Kiai Saifudin
Zuhri, para santri dan kiainya benar-benar sangat paham bagaimana arti hidup
dalam penjajahan.
Kiai Ahmad Baso, dalam bukunya Pesantren Studies,
menafsirkan gambaran santri yang dikatakan oleh Kiai Saifudin Zuhri. Menurut
Kiai Ahmad Baso, ada tiga aspek yang terdapat dari kata-kata Kiai Saifudin
Zuhri, diantaranya aspek ontologis, aspek epistemologis dan aspek praksis. Menurut Kiai Ahmad Baso, Aspek ontologis ini
mencakup pada genealogis atau asal-usul dan sosiologis kaum santri. Dalam aspek
ontologis tersebut, Kiai Ahmad Baso mengibaratkan jika dalam pepohonan, santri
sebagai buahnya, sedangkan rakyat sebagai akarnya. Hal tersebut menegaskan
bahwa klaim kaum santri harus mewakili terhadap kepentingan rakyat. Meskipun
mobilitas sosial kaum santri kini telah beranjak dan sebagian masuk pada
lingkaran elit, namun suara dan gerak langkahnya, tegas Kiai Ahmad Baso, harus
menjadi kelanjutan dari suara dan gerakan rakyatnya.
Ruang lingkup aspek epistemologis ini, kata Kiai Ahmad Baso,
terdapat pada bagaimana santri paham tentang arti kata rakyat, paham tentang
kebudayaan rakyat, agama rakyat, lalu jalan pikiran rakyat, cara hidup rakyat,
semangat dan cita-cita rakyat, suka duka rakyat, nasib rakyat serta seluruh
seluk beluk liku-liku hidup rakyat.
Sedangkan aspek praksis, kata Kiai Ahmad Baso, santri dan kiai
sangat paham betul bagaimana arti hidup dalam penjajahan. Artinya, pada level
praksis inilah, santri sangat menolak segala bentuk penindasan, kekerasan,
penghisapan dan penjajahan bagi siapa saja yang merampas hak hidup bangsa
Indonesia.
Dari pedesaan mereka berasal, dari pesantren mereka dididik dan
digembleng oleh gurunya yang disebut kiai. Dari wawasan pengetahuannya, hingga
mental populisnya. Menurut Soetomo, sebagaimana yang ditulis oleh Kenji
Tsuchiya dalam buku Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman
Siswa, pesantren adalah tempat di mana jiwa siapa saja yang egoistik dapat
bermetamorfosis menjadi jiwa yang siap berkorban untuk kepentingan rakyat.
Meski sebagian orang masih tabu bicara pesantren, melihat pesantren hanya dalam fisiknya saja, berkutat pada soal jorok dan kurang mengindahkan kesehatan dan kebersihan, meminjam istilah Kyai Ahmad Baso, penggambaran yang seperti demikian adalah tipikal konstruk abad 20, namun soal idealisme pesantren yang anti kolonial janganlah diabaikan.
Wallohu 'alam
Dan Pesan utama untuk hari santri nasional untuk kali ini adalah jagalah dan pelihara lah NKRI. Soalnya para kiai dan para santri telah berjuang bersama-sama mendirikan RI,”
BalasHapusDan pemerintah juga harus mengingat kembali bahwa aspek lain yang melatarbelakangi penetapan HSN ini adalah pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia atas peran besar umat Islam dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga NKRI.
Lain dari itu pun betul apa yg di sampaikan sang penulis pak Azi otu, bahwasanya jangan sampe melihat para kaum sarungan ini di pandang sebelah mata, melainkan lihat lah isi dan perjuangannya itu,
Maka saya lebih sepakat Ter hadap pemerintahan daerah sampe pemerintahan RI agar supaya memberikan perhatian lebih terhadap kaum sarungan/santri.