01 April 2023

Mengenal Proses Perumusan Qira'at Sab'ah Al Quran

 

Ilustrasi.Pexels

Alazharcitangkolo.com - Berdirinya madrasah-madrasah qira’at di beberapa pusat Islam sejak masa sahabat menjadikan qira’at terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan pada era tabi’in dan berlanjut pada era tabi’ al-tabi’in. 


Keberadaan madrasah tersebut juga mendorong lahirnya para tokoh qira’at generasi tabi’ al-tabi’in. Seperti di Makkah lahir tokoh ahli qira'at yaitu ‘Abdullah bin Katsir (w.120 H) , Muhammad ‘Abd al-Rahman bin Muhaisin (w.123 H), Humaid bin Qais al A'raj (w.130 H). 


Di Madinah ada Shaibah bin Nasah (w. 130 H), Abu Ja’far Yazid bin al-Qa’qa’ (w. 130 H), Nafi’ bin Abi Nu’aim (w. 169 H). 


Di Kufah ada Yahya bin Wathab (w. 103 H), Sulaiman bin Mahran al-A’mash (w. 119 H), ‘Asim bin Abi al Najud (w. 127 H), Hamzah (w. 156 H), al-Kisa’i (w. 189 H). 


Di Bashrah: ‘Abdullah bin Abi Ishaq (w. 117 H), Isa bin ‘Umar al Thaqafi al-Basri (w. 149 H), Abu ‘Umar Zabban bin al-Ala’ bin ‘Ammar al-Basri al-Tamimi (w. 153 H), ‘Asim al Jahdari, Ya’qub al Hadrami (w. 205 H). 


Di Syam ada ‘Abdullah bin ‘Amir (w. 118 H), ‘Atiyyah bin Qais al Killabi (w. 121 H), Isma’il bin ‘Abdullah bin al Muhajir (w. 132 H), Yahya bin al Harith al-Dhimari (w. 145 H), Shuraih bin Yazid al Hadrami (w. 203 H).


Keterangan tersebut dikutip dari Imam Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al suyuti, Al Itqan dalam ‘Ulum Al-Qur’An jilid 2 halaman 476 - 478.


Fase Perumusan Qira'at Sab'ah Al-Quran


Ilmu qira’at terus berkembang hingga memasuki masa penulisan qira’at dan menjadi disiplin ilmu yang independen. 


Perhatian ulama yang cukup tinggi menjadikan qira’at berkembang dengan sangat pesat. 

Pada kurun waktu tersebut para ulama mulai merintis penyusunan sistematika, metodologi ilmu qira’at dan menghasilkan beberapa karya dalam bidang qira’at. 


Namun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait orang yang pertama kali menyusun karya tentang ilmu qiraat.


Sebagian ulama berpendapat orang yang pertama kali menyusun kitab tentang qira’at adalah Abu ‘Ubaid al Qasim bin Sallam (w. 224 H). 


Sebagian pendapat menyatakan Abu Hatim al Sijistani (w. 115 H), dan pendapat lain menyatakan Yahya bin Ya’mar (w. 90 H).


Sebagaimana keterangan dari Syaikh Nabil bin Muhammad Ibrahim, dalam Ilmu Al-Qira’at Nasy’atuhu, Athwaruhu, Atsaruhu fi Al Ulum Asy-Syar’iyah.


Didalam keterangan Syaikh Nabil bin Muhammad Ibrahim, tercatat sejumlah nama ulama sebagai penyusun awal dalam bidang qira’at.


Diantaranya Yahya bin Ya’mar (w. 90 H), ‘Abdullah bin ‘Amir (w. 118 H), Abban bin Taghlib al Kufi (w. 141 H), Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H), menyusun kitab berjudul al-Qira’at, Abu ‘Amr al-‘Ala’ (w. 156 H), Hamzah bin Habib al Zayat (w. 156 H), Zaidah bin Quddamah al Thaqafi (w. 161 H). 


Kemudian ada Harun bin Musa al-A’war (w. 170 H). Ali bin Hamzah al-Kisa’i (w. 189 H), Ya’qub bin ‘Isa al Hadrami (w. 205 H), Abu ‘Abid Qasim bin Sallam (w. 224 H), Abu ‘Umar Hafs bin ‘Umar al Duri (w. 246 H). Abu Hatim Sahal Muhammad al Sijistani (w. 255 H).


Setelah melewati fase kodifikasi dan pembukuan ilmu qira’at, pada abad ke- 3 H ilmu qira’at mengalami krisis dan kemunduran. 


Penyusunan karya-karya tentang qira’at juga sempat mengalami kevakuman. 


Pada masa ini muncul beragam qira’at yang tersebar di berbagai kawasan Islam. Mengingat potensi jumlah qira’at yang sangat besar, maka jumlah qurra’ juga terhitung sangat banyak, bahkan mencapai ratusan orang. 


Oleh karena itu, jumlah qira’at yang tercatat antara satu ulama juga berbeda dengan catatan ulama lainnya. 


Pengumpulan Catatan Qira'at


Dalam pendataan Abu ‘Ubaid al Qāsim bin Sallam (w. 224 H) setidaknya mencatat bacaan 25 imam qira’at selain bacaan para imam qira’at sab’ah. 


Al Qadi Isma’il bin Ishaq al Maliki (w. 283 H) mencatat bacaan 20 imam qira’at. Sedangkan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al Tabari (w. 310 

H) mencatat bacaan lebih dari 20 imam qira’at. Keterangan tersebut dikutip dari imam Muḥammad bin Shuraih al Ra’aini dalam kitab Al Kafi fi Qira’ah Al Sab’. 


Mengingat banyaknya jumlah qira’at yang tersebar waktu itu, sehingga tidak dapat dipastikan qira’at tersebut tergolong sebagai qira’at mutawatir atau qira’at shadh.


Meskipun batasan dan kriteria tertentu diterimanya suatu qira’at sudah diatur oleh para ulama. Selain munculnya beragam qira’at dan qurra’, terdapat beberapa permasalahan lain menyangkut perbedaan qira’at. 


Perbedaan ini disebabkan adanya qira’at yang hanya mengedepankan kesesuaian dalam aspek kaidah bahasa Arab dan mushaf Utsmani. 


Namun mengabaikan aspek periwayatan sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan bin Ya‘qub bin al-Hasan bin Miqsam al ‘Attar atau yang dikenal dengan nama Ibn Miqsam (seorang ulama ahli qira’at dan pakar bahasa terkemuka di Baghdad) yang terjadi pada tahun 322 H. 


Menurut Ibnu Miqsam, setiap qira’at yang sejalan dengan kaidah bahasa Arab dan sesuai dengan mushaf Utsmani, meskipun tanpa sanad yang shahih, boleh dibaca dalam shalat dan lainnya. 


Perbedaan qira’at lainnya juga terjadi pada tahun 323 H, sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Ayyub bin Shannabudh atau yang dikenal dengan nama Ibnu Shannabudh (seorang ulama ahli qira’at di Baghdad) yang memperbolehkan kaum muslimin menggunakan bacaan Ibnu Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab. 


Keterangan tersebut diambil dari Imam Ibnu Mujahid dalam kitab Al-Sab’ah fi Al-Qira’at halaman 15-16. 


Lahirnya Formula Qira'at Sab'ah 


Atas dasar pertimbangan itu, Abu Bakar Ahmad bin Musa bin al-‘Abbas bin Mujahid al-Tamimi al-Baghdadi atau yang lebih dikenal dengan Imam Ibnu Mujahid (245 H-324 H/859 M-935 M) melakukan pembaharuan dalam ilmu Qira’at pada penghujung abad ke-3 H.


Ia menawarkan konsep qira’at sab’ah dalam karya monumental kitab Al-Sab’ah fi al-Qira’at, yaitu pembatasan jumlah qira’at yang diwakili oleh tujuh imam qira’at berdasarkan spesifikasi kriteria qira’at.


Diantaranya kesesuaian qira’at dengan kaidah bahasa Arab, kesesuaian qira’at dengan mushaf Utsmani dan qira’at tersebut harus memiliki sanad yang shahih.


Formula tujuh imam qira’at sebenarnya sudah dikenal di kalangan kaum Muslimin pada masa kekhalifahan al-Ma’mun (192-218 H/ 813-833 M). Hanya saja belum dikenal luas oleh masyarakat.


Diantara tujuh imam qira’at tersebut adalah Nafi’ bin ‘Abd al-Rahman bin Abi Nu’aim al-Madani, ‘Abdullah bin Kathir al-Dari, ‘Abdullah al Yahsubi atau yang dikenal dengan Ibnu ‘Amir, Zabban bin ‘Ala’ bin ‘Ammar atau Abu ‘Amr, ‘Asim bin Abi al Najud al Asadi, Hamzah bin Habib al Zayyat, dan Ya’qub bin Ishaq al Hadrami. 


Akan tetapi Ibnu Mujahid menggeser nama Ya’qub al Hadrami dan menggantinya dengan ‘Ali bin Hamzah al Kisa’i dalam daftar tujuh imam qira’at yang ia rumuskan. 


Tujuh imam qira’at versi imam Ibn Mujahid tersebut diantaranya, pertama Imam Nafi nama lengkapnya Imam Nafi’ bin ‘Abd al-Rahman bin Abi Nu’aim al Laithi al Madani.


Kedua Imam Ibn Katsir al Makki nama lengkapnya ‘Abdullah bin Katsir bin ‘Amr bin ‘Abdullah bin Zadan Fairuz bin Hurmuz maula ‘Amr bin ‘Alqamah al Kannani.


Ketiga Imam Abu ‘Amr, nama lengkapnya Zayyan bin al-‘Ala’ bin ‘Ammar al-Tamimi al Mazini al Basri.


Keempat Imam Ibn ‘Amir, nama lengkapnya ‘Abdullah bin ‘Amir bin Tamim bin Rabi’ah bin ‘Amir bin ‘Abdullah bin Imran al Yahsubi. 


Kelima Imam ‘Ashim, nama lengkapnya ‘Asim bin Abi al Najud al Asadi.


Keenam Imam Hamzah, nama lengkapnya Hamzah bin Habib bin Isma’il al Kufi al Tamimi.


Ketujuh Imam al-Kisa’i al Kufi, nama lengkapnya ‘Ali bin Hamzah bin ‘Abdillah bin ‘Utsman bin Bahman bin Fairuz maula Bani Asad. 


Kendati konsep qira’at sab’ah yang dirumuskan Imam Ibn Mujahid ini dinilai sebagai pemicu munculnya kerancuan antara qira’at sab’ah dengan al ahruf al sab’ah di kalangan masyarakat awam, sebagaimana pernyataan Abu al ‘Abbas Ahmad bin ‘Ammar (w. 430 H).


Namun konsep qira’at sab’ah yang ditawarkan Imam Ibnu Mujahid ini mendapat respon yang positif, diterima oleh mayoritas ulama dan para ahli qira’at yang lain. 


Keberhasilan dan popularitas konsep qira’at sab’ah yang dirumuskan Imam Ibnu Mujahid ini tidak terlepas dari peran dan dukungan Dinasti ‘Abbasiyah yang berkuasa waktu itu. 


Selain itu, Imam Ibn Mujahid mengenalkan konsepnya ini pada situasi yang tepat.


Posisinya yang cukup tinggi sebagai ulama ahli qira’at di masanya juga menjadikan konsep qira’at sab’ah ini mampu menyedot perhatian dan dikenal masyarakat luas.



Referensi: 

1. ‘Abd al-Fattah ‘Abd al-Ghani al-Qadi (1998) Tarikh al-Qurra’ al-‘Ashrah wa Ruwwatuhum wa Tawatur Qira’atuhum wa Manhaj Kullun fi al-Qira’ah. Kairo: Maktabah al-Qahirah.

2. Ahmad al-Baili (1988) al-Ikhtilaf baina al-Qira’at. Beirut: Dar al-Jil.

3. Ibn Mujahid (2000) Kitab al-Sab’ah fi al-Qira’at. Mesir: Dar al-Ma’arif.

4. Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuti (2000) al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Dar Ibn Kathir.

5. Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhari (1977) ‘al-Tarikh al-Ausat’, in Tahqiq: Mahmud Ibrahim Zayid. Kairo: Maktabah Dar al-Turath, p. Jilid 2, 9.

6. Muhammad bin Muhammad bin al-Jazari (2009) Ghayah al-Nihayah fi Tabaqat al-Qurra’. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

7. Muḥammad bin Shuraih al-Ra’aini (2000) al-Kafi fī Qira’ah al-Sab’. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

8. Muhammad Salim Muhaisin (1988) al-Mughni fi Taujih al-Qira’at al-‘Ashr al-Mutawatirah. Beirut: Dar al-Jil.

9. Nabil bin Muhammad Ibrahim (2000) Ilm al-Qira’at: Nasy’atuhu, Athwaruhu, Atsaruhu Fi al-Ulum asy-Syar’iyah. Riyadh: Maktabah at-Taubah.

10. Shams al-Din Muhammad bin Ahmad bin ‘Uthman al-Dhahabi (2000) ‘Siyar A’lam al-Nubala’’, in Tahqiq Shu’aib al-Arnaut. Beirut: Muassasah al-Risalah, p. Jilid 5, 256.




Penulis: Bad’ul Hilmi AR

Editor: Aji Muh Iqbal





Tidak ada komentar:

Posting Komentar