Sumber: Istimewa |
Dalam sejarah perkembangan bangsa, pesantren memiliki peran yang sangat penting, bukan hanya sebagai tempat untuk melahirkan generasi yang akan meneruskan dan melestarikan agama Islam. Lebih dari itu, pondok pesantren seringkali memberikan pengaruh pada berbagai sektor kehidupan. Pesantren tidak hanya fokus dalam kajian agama, tetapi juga aktif memberikan kontribusi dalam bidang politik, sosial, ekonomi, pertanian, pengembangan teknologi, dan lain sebagainya.
Tentu saja, hal ini bertentangan dengan stigma dan persepsi yang seringkali dikaitkan dengan pesantren, yaitu bahwa pesantren adalah institusi pendidikan yang terbelakang dan tidak modern, karena dalam proses pendidikannya, pesantren tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional sebagai identitasnya.
Sekilas tentang sejarah pesantren
Sejarah pesantren di Indonesia telah ada sebelum kedatangan bangsa Eropa di Nusantara. Secara historis, keberadaan pondok pesantren di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kedatangan 9 tokoh yang menyebarkan agama Islam, yang dikenal sebagai Walisongo.
Jika melihat fakta sejarah bahwa Walisongo adalah tokoh utama dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, maka dapat diasumsikan bahwa model pendidikan pesantren telah diperkenalkan sejak zaman Walisongo, meskipun mungkin tidak persis seperti yang kita kenal saat ini.
Dalam buku Atlas Walisongo, KH. Agus Sunyoto menjelaskan bahwa model pendidikan pesantren merupakan hasil dari proses asimilasi metode pendidikan Hindu-Buddha yang disebut dukuh atau kapitayan. Konsep ini kemudian diadaptasi oleh para pengajar Islam di Indonesia dengan basis pendidikan sosial-kultural keagamaan dalam bentuk pondok pesantren.
Kata santri sendiri berasal dari istilah Sashtri yang memiliki arti orang yang belajar sastra (baca Atlas Walisongo). Dalam terminologi Islam di Indonesia, santri adalah seseorang yang menuntut ilmu dengan menghormati etika dan norma serta menganggap guru sebagai sumber ilmu yang harus dihormati dengan rendah hati.
Akar sejarah metode pendidikan pesantren tidak dapat dipisahkan dari peran budaya di Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh KH. Said Aqil Siradj, budaya digunakan sebagai pondasi untuk membumikan nilai-nilai ke-Islam-an, bukan untuk sinkretisme atau mencampuradukan nilai Islam dengan budaya, tetapi sebagai upaya akomodasi. Artinya adalah nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan Islam diakomodasi dan digunakan sebagai media untuk menyebarkan Islam.
Hal ini terlihat dalam pondok pesantren, yang tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan untuk mempelajari ilmu agama, tetapi juga menjaga budaya sebagai identitas kebangsaan. Itulah mengapa pondok pesantren mampu bertahan menghadapi tantangan zaman, karena memiliki akar budaya yang kuat sebagai identitas kultural.
Sebagai contoh, pada peringatan Harlah 1 abad Nahdlatul Ulama yang diadakan pada bulan Januari lalu, Nahdlatul Ulama memberikan penghargaan kepada sekitar 56 pondok pesantren di Indonesia yang memiliki usia operasional yang cukup lama sejak didirikan. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Alkahfi Somalangu, Kebumen, Jawa Tengah, yang merupakan pesantren tertua dan didirikan pada tanggal 4 Januari 1475 M.
Peran Pesantren Dalam Sejarah Pergerakan Nasional
Dalam sejarah pergerakan nasional, pesantren juga memiliki peran sebagai basis perlawanan dan turut berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Hal ini tidak mengherankan mengingat nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan telah tertanam dalam karakter para santri.
Pondok pesantren memberikan warna dalam perjuangan mencapai kemerdekaan dengan spektrum ideologi nasionalis-religius. Banyak tokoh pesantren, seperti KH. Wahab Hasbullah, yang namanya diabadikan sebagai pahlawan nasional. Peran dan kontribusi KH. Wahab Hasbullah terlihat jelas, salah satunya ketika beliau menginisiasi lahirnya Taswirul Afkar, organisasi yang berfungsi sebagai tempat dialog intelektual dan pendidikan kader pergerakan.
Melalui gerakan kaderisasi ini, pesantren kemudian memiliki pengaruh dalam sejarah pergerakan nasional. Bukanlah hal yang mengherankan jika banyak tokoh nasional seperti Bung Karno meminta pendapat ulama dari pesantren dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan. Ini tidak terlepas dari semangat nasionalisme yang dipancarkan oleh tokoh-tokoh pesantren.
Salah satu momen puncak perjuangan kaum santri yang paling heroik dan terkenal adalah peristiwa 22 Oktober 1945 di Surabaya, di mana para santri berjuang di garis perlawanan melawan penjajah. Dalam konteks ini, fatwa resolusi jihad yang dibacakan oleh KH. Hasyim Asy'ari menjadi dasar bagi santri dari berbagai pesantren di Jawa Timur untuk berangkat ke medan perjuangan melawan tentara Belanda yang didukung oleh Inggris.
Peran Pesantren dalam Konteks Sosial dan Ekonomi
Banyak dari kita mungkin mengenal pesantren hanya sebagai tempat untuk belajar agama Islam tafaqquh fiddin, kalau mau lebih keren lagi ya bisa lihat kiprah beberapa tokohnya di panggung politik nasional. Namun, di sisi lain, pesantren juga peduli terhadap aspek kehidupan sosial dan ekonomi yang melibatkan banyak orang, salah satunya adalah aspek ekonomi.
Dengan keberadaan pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan sekitar 36.600 pesantren dan lebih dari 3,4 juta santri menurut data statistik yang dirilis oleh Kementerian Agama pada tahun 2022, pesantren memiliki potensi menjadi pusat gerakan pemulihan ekonomi nasional.
Fakta ini sejalan dengan banyaknya pesantren yang memiliki badan usaha mandiri sebagai wadah eksplorasi ekonomi mereka. Sebagai contoh, di beberapa provinsi di Indonesia, pesantren bekerja sama dengan pemerintah untuk mengembangkan potensi ekonomi mandiri melalui program One Pesantren One Product (OPOP). Ini adalah langkah konkret bagaimana pesantren berperan dalam bidang ekonomi yang memberikan manfaat nyata.
Relevansi Pesantren di Zaman Modern
Dengan melihat sejarah yang panjang di Indonesia, pesantren telah menunjukkan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan zaman. Pesantren, sebagai bagian dari bangsa ini, yang oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) disebut sebagai subkultur dalam struktur masyarakat Indonesia, selain menjaga eksistensi nilai pendidikan khas mereka, pesantren juga bertransformasi di berbagai bidang.
Tantangan globalisasi dan modernitas menjadi hal yang harus dihadapi pesantren. Kurikulum pendidikan yang sebelumnya terfokus pada kajian Islam klasik mengalami perkembangan yang signifikan. Banyak pesantren yang memiliki lembaga pendidikan formal, bahkan sampai tingkat perguruan tinggi, sebagai respons terhadap tuntutan zaman.
Hal ini adalah langkah progresif yang tidak bertentangan dengan prinsip dan etika pesantren. Pesantren tetap mempertahankan karakteristik khasnya. Selain itu, pesantren juga terbuka terhadap perkembangan zaman, yang dalam tradisi pesantren dikenal dengan kaidal Al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah.
Dengan demikian, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa pesantren tetap relevan sepanjang zaman. Di tengah ide-ide modernitas, pesantren akan tetap ada atau bahkan menjadi subjek utama dalam kemajuan dunia tanpa meninggalkan konstruksi nilai dan moralitasnya.
Penulis: Muhammad A. Zul Fikar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar